Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara Beduk di Rimba Belantara Itu Hanya Muncul Saat Ramadhan

Kompas.com - 22/05/2018, 09:45 WIB
Rosyid A Azhar ,
Reni Susanti

Tim Redaksi

GORONTALO, KOMPAS.com – “Saya dan juga anggota tim survey lainnya mendengar sendiri ada suara beduk di tengah hutan rimba Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW),” kata Danny Albert Rogi mengenang pengalaman menariknya, Selasa (22/5/2018).

Awalnya suara beduk ini hanya kepercayaan masyarakat setempat, yang konon muncul hanya pada bulan Ramadhan.

Orang-orang desa yang biasa mencari rotan adalah yang pertama mendengar suara ini. Kabar tersebut kemudian menyebar ke tengah masyarakat.

Suara beduk ini tidak beraturan kapan munculnya, bisa siang atau malam. Anehnya di dalam hutan belantara ini tidak ada perkampungan atau kelompok masyarakat yang menabuh.

Waktu itu Danny Albert Rogi merupakan salah satu anggota kelompok yang sedang melakukan survei ekologi kelelawar pemakan buah.

Baca juga: Serunya Tradisi Patrol Saat Ramadhan di Surabaya pada 1971...

Mereka bekerja untuk program Wildlife Conservation Society (WCS), sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada kegiatan konservasi.

Selama 2 tahun mereka melakukan survey di tengah hutan, setiap hari bergerak dari satu lokasi ke tempat lain.

Mereka memasang jaring kabut yang sangat halus di bagian hutan yang diperkirakan sering dilalui kelelawar mulai jam 17.00 Wita hingga subuh.

Rentang kerja yang dimulai pada sore hingga subuh ini karena kelelawar adalah binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal).

Banyak jaring yang dipasang setiap hari. Biasanya, satu jam setelah pemasangan harus segera dilihat kembali untuk melihat kelelawar yang tertangkap.

Dalam rentang kawasan yang dipasangi jaring kabut, tim survei selalu memeriksa tangkapannya sepanjang malam.

Baca juga: Tradisi Mohibadaa, Cara Warga Gorontalo Sehat Sepanjang Ramadhan

Setelah melepaskan kelelawar yang meronta di jaring, anggota tim lainnya memasukkan dalam kantong kain dan menggantungnya. Dalam satu kali tangkap, biasanya banyak kelelawar yang terjaring.

Dengan pelan-pelan mereka mengukur kelelawar pemakan buah ini. Mulai dari berat badannya, bentang sayapnya, ukuran telinga hingga tungkainya.

“Kami juga mengambil kotoran yang dibuang di dalam kantong kain, memeriksa jenis kelaminnya dan identitas jenisnya,” ujar Usman Leheto, salah seorang anggota tim survei.

“Setiap sore kami mulai bergerak dengan membawa bekal termasuk peralatan masak dan bahan makanan, karena kami tetap menjalankan puasa meskipun berada di tengah hutan,” kata Danny Albert Rogi yang kini bekerja untuk Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (E-PASS) TNBNW

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com