Salin Artikel

Suara Beduk di Rimba Belantara Itu Hanya Muncul Saat Ramadhan

Awalnya suara beduk ini hanya kepercayaan masyarakat setempat, yang konon muncul hanya pada bulan Ramadhan.

Orang-orang desa yang biasa mencari rotan adalah yang pertama mendengar suara ini. Kabar tersebut kemudian menyebar ke tengah masyarakat.

Suara beduk ini tidak beraturan kapan munculnya, bisa siang atau malam. Anehnya di dalam hutan belantara ini tidak ada perkampungan atau kelompok masyarakat yang menabuh.

Waktu itu Danny Albert Rogi merupakan salah satu anggota kelompok yang sedang melakukan survei ekologi kelelawar pemakan buah.

Mereka bekerja untuk program Wildlife Conservation Society (WCS), sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada kegiatan konservasi.

Selama 2 tahun mereka melakukan survey di tengah hutan, setiap hari bergerak dari satu lokasi ke tempat lain.

Mereka memasang jaring kabut yang sangat halus di bagian hutan yang diperkirakan sering dilalui kelelawar mulai jam 17.00 Wita hingga subuh.

Rentang kerja yang dimulai pada sore hingga subuh ini karena kelelawar adalah binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal).

Banyak jaring yang dipasang setiap hari. Biasanya, satu jam setelah pemasangan harus segera dilihat kembali untuk melihat kelelawar yang tertangkap.

Dalam rentang kawasan yang dipasangi jaring kabut, tim survei selalu memeriksa tangkapannya sepanjang malam.

Setelah melepaskan kelelawar yang meronta di jaring, anggota tim lainnya memasukkan dalam kantong kain dan menggantungnya. Dalam satu kali tangkap, biasanya banyak kelelawar yang terjaring.

Dengan pelan-pelan mereka mengukur kelelawar pemakan buah ini. Mulai dari berat badannya, bentang sayapnya, ukuran telinga hingga tungkainya.

“Kami juga mengambil kotoran yang dibuang di dalam kantong kain, memeriksa jenis kelaminnya dan identitas jenisnya,” ujar Usman Leheto, salah seorang anggota tim survei.

“Setiap sore kami mulai bergerak dengan membawa bekal termasuk peralatan masak dan bahan makanan, karena kami tetap menjalankan puasa meskipun berada di tengah hutan,” kata Danny Albert Rogi yang kini bekerja untuk Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (E-PASS) TNBNW

Jangan Makan Udang

Hanya berbekal ingatan jadwal imsakiyah, tim ini menjalankan puasa di tengah senyapnya hutan.

Tidak betemu orang, yang paling banyak dijumpai justru satwa-satwa penghuni Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Jika dirasakan sudah mendekati waktu berbuka puasa, tim menyiapkan perlengkapan memasak sederhana berbahan bakar spiritus.

Beras dimasak dengan lauk  ikan kaleng atau ikan asin. Itu menjadi menu sehari-hari mereka berbuka dan sahur di tengah hutan.

“Kalau lagi mujur kami juga memancing sogili (sidat) atau menangkap udang di anak sungai,” kenang Danny Rogi.

Meski alam menyediakan banyak kemudahan, namun ada pantangan yang tidak boleh dilanggar siapapun di sini, dilarang membakar udang!

Jika ada yang berani membakar udang di tengah hutan, maka akan datang keanehan yang bisa berakibat fatal. Kepercayaan ini terus hidup di tengah masyarakat Gorontalo.

Mereka percaya saat ada orang membakar udang akan datang mangubi, makhluk seram yang diyakini bentuknya menyerupai monyet namun berdiri tegak sebagaimana manusia.

Menurut penuturan warga lokal, suara mangubi seperti suara burung serak atau burung hantu. Terdengar menyeramkan apalagi pada malam hari.

“Kata warga kalau ada yang nekat membakar udang, biasanya akan ada  angin ribut, Wallahu’alam” ujar Danny Rogi.

Kisah mangubi ini tidak menghantui tim survei. Mereka terus bekerja untuk menuntaskan riset meskipun harus menjelajah rapatnya hutan rimba taman nasional ini.

Semakin memasuki jantung taman nasional, tim survei semakin banyak menyaksikan keanekaragaman hayati bumi pertiwi.

Flora fauna hidup harmoni dalam habitat yang terjaga menjadi suguhan sehari-hari.

Pengalaman hidup lama di tengah rimba ini tidak semua orang bisa mengalaminya. Menyaksikan kebesaran Tuhan menjadi anugerah terindah setiap anggota tim.

Suara Beduk

Sambil terus menyusuri lantai hutan, mereka bekerja penuh dedikasi. Tak jarang mereka juga menjumpai keanehan lain.

Saat istirahat atau sedang bekerja tim survei merasakan ada yang aneh, cerita orang desa yang mengatakan ada suara beduk di tengah hutan terbukti.

Suara beduk yang bertalu-talu dengan jelas terdengar, namun semua anggota tim tidak bisa mengira asal dan sumber suaranya. Suara ini muncul hanya pada bulan Ramadhan!

“Kami tidak tahu dari arah mana dan sumber suara berasal, namun suaranya terdengar jelas,” kata Danny Albert Rogi.

Cerita masyarakat tentang bunyi beduk ini seakan menjadi bukti banyak hal yang harus diungkap di tengah rimba belantara taman nasional ini.

Kebahagiaan tim survei tergambar saat mereka kembali ke camp induk di Pomaguo. Segala peralatan dan logistik tersedia di sini.

Mereka,  ada Danny Rogi, Hayun, Usman, Asrin, Hanom dan anggota lainnya sering bersenda gurau dan diskusi, juga bertukar cerita dan pengalaman unik di meja makan saat berbuka puasa atau sahur.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/22/09453631/suara-beduk-di-rimba-belantara-itu-hanya-muncul-saat-ramadhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke