Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bandara New Yogyakarta International Airport, Warga Jangan Cuma Menonton

Kompas.com - 26/03/2018, 11:51 WIB
Dani Julius Zebua,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

Pantai Glagah adalah pantai wisata Kulon Progo. Pantai ini kehabisan pamor sejak kehadiran bandara. Tetapi justru banyak warga yang bergeser ke sana dan menggantungkan hidup dari kehadiran wisatawan yang makin susut.

Di sisi lain, mereka juga dibayangi kekhawatiran destinasi ini pada akhirnya ikut mati karena dampak pembangunan.

Wisnu Kartosentono, salah satu inisiator paguyuban, mengatakan, kebanyakan mereka adalah mantan penggarap lahan para tuan tanah. Mereka memiliki usia produktif, usia muda yang perlu dibina jadi SDM baik, tapi berakibat buruk di masa depan bila tidak dikelola.

Fenomena ‘putra daerah’ yang terdampak selagi pembangunan selalu terjadi di mana saja. Pendatang jadi pekerja pokok, warga yang lebih lama ada malah jadi penonton dan tersisih. Patra Pansel muncul dalam kegelisahan itu sejak Januari 207. Mereka menginginkan bahwa warga Temon tidak mengalami keterdesakan dan tersisih.

“Kami yang terdampak pembangunan bandara, tetapi bukan korban,” kata Wisnu.

(Baca juga: Ketika Kapolri Memotong Rambut Bayi Tito Karnavian...)

Sejak berdiri di Januari 2017, Patra Pansel membuat sejumlah kegiatan mengelola warga terdampak, baik yang mengandalkan hidup di tempat wisata, wira usaha mandiri, maupun yang berharap bisa terlibat di bandara suatu hari nanti.

Untuk mewujudkan program itu, mereka memfasilitasi kegiatan pengembangan diri, termasuk pelatihan di balai latihan kerja, pelatihan sekuriti, pelatihan teknisi Air Conditioner, wira usaha, komputer, bahasa inggris, dll.

Ini dilakukan lantaran sentuhan pemerintah hingga Angkasa Pura pada mereka dirasa masih kurang.

“Kami yang mendorong orang untuk mau ikut pelatihan. Kami yang mendaftarkan. Pengumuman pelatihan juga harusnya terbuka, di tempat-tempat ibadah, di media massa, jangan cuma (pengumuman) di balai desa. Mendorong mereka ini sulit sekali,” kata Wisnu.

Menurut Wisnu, kesulitan ini akibat perubahan budaya mendadak dalam masyarakat yang tadinya petani menjadi pekerja servis.

“Seharusnya pemerintah door to door. Harusnya bukan kami yang melakukan,” kata Wisnu.

(Baca juga: Kisah Mas Rinto, Tukang Bakso Berdasi yang Terinspirasi James Bond)

Wisnu mengatakan, ada dua kegiatan utama, yakni menghidupkan kembali destinasi Pantai Glagah yang terus surut, mengupayakan penerangan jalanan menuju pantai, dan berniat menghidupkan kawasan bumi perkemahan di sana. Di sana, warga jadi bisa mengandalkan hidup dari lokasi wisata.

Kegiatan lain, mereka mengembangkan usaha penumpukan pasir dengan merekrut pemuda-pemuda warga terdampak. Di usaha penumpukan pasir itu, setidaknya 15 orang ikut bekerja.

“Keduanya pilot project. Kami akan menunjukkan hasilnya,” kata Wisnu.

Mereka menyadari kepentingan umum mesti diutamakan. Sedangkan warga terdampak terpaksa ikut dalam perubahan budaya karena tidak boleh kalah bersaing dan akhirnya tersingkir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com