Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bandara New Yogyakarta International Airport, Warga Jangan Cuma Menonton

Kompas.com - 26/03/2018, 11:51 WIB
Dani Julius Zebua,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) akan membentang seluas 587,3 hektar di Desa Jangkaran, Sindutan, Palihan, Kebonrejo, dan Glagah di Kecamatan Temon, Kulon Progo, Yogyakarta.

Belum lama ini, Angkasa Pura I mengklaim sudah tidak memiliki hambatan lagi untuk membangun bandara ini.

Bukan hanya tempat tinggal yang tersita pembangunan NYIA, tetapi juga hampar sawah, tegalan, tambak, hingga area wisata. Ribuan orang pun mengalami perubahan nasib, termasuk para petani yang menggarap sawah dan tegalan para tuan tanah.

Galih Restunawi dari Dusun 5 Desa Glagah juga merasakan perubahan itu. Pemuda 25 tahun ini dulunya bisa mengumpulkan belalang di lahan pertanian, disetor ke pengepul, lantas dijual ke pengolah di Wonosari. Dia biasa mengantongi setidaknya Rp 40.000 per kilogram belalang yang didapatinya dalam semalam.

“Tapi, semua tinggal kenangan,” kata Gilang.

(Baca juga: Cerita Menegangkan di Balik Sneaker Asli Bandung yang Dibeli Jokowi)

Lahan itu sudah tidak ada lagi. Tuan tanahnya pergi setelah ganti rugi. Ayahnya terpaksa mengontrak lahan lain 5 kilometer jauhnya dari sawah semula. Galih tidak ikut membantu di sana. Dia memilih bergabung di usaha penumpukan pasir di Temon sebagai sopir.

Iksan Wahyu dari Dusun V Desa Glagah punya kenangan serupa Galih. Pemuda berusia 21 tahun ini baru saja lulus dari 24 hari pelatihan las listrik. Iksan dan orangtuanya dulu penggarap tegalan berisi sayur. Dari situ mereka memperoleh uang.

Setelah tanah garapan habis, belum ada lagi pekerjaan yang pas yang bisa menghasilkan uang untuk kehidupan sehari-hari.

Iksan memang punya kemampuan menyambung logam dengan las kini. Namun, tanpa penyaluran, Iksan pun gamang antara keinginan mandiri, mencari pengalaman, dan menunggu dalam ketidakpastian pembangunan bandara membuka perekrutan tukang las.

“Maunya mandiri (buka bengkel). Punya pengalaman dulu,” kata Iksan.

Dia bersama kelompoknya mencoba mencari cara memiliki mesin las. Menurut Iksan, kecakapan las yang dimilikinya, pengganti kecakapan tani, mesti segera ada penyalurannya.

Jangan cuma nonton

Galih dan Iksan, dua mantan penggarap pertanian di Desa Glagah. Mereka mendadak harus beralih dari petani jadi pekerja penuh daya saing.

Keduanya belum menatap masa depan pasti dengan kehadiran bandara dan pembangunannya. Beda dengan ketika jadi penggarap bersama orangtua.

Namun, Galih dan Iksan mengaku lebih beruntung ketimbang ratusan anak muda lain dari desa-desa terdampak. Galih sekarang jadi sopir di sebuah usaha penumpukan pasir. Iksan baru saja lulus dari pelatihan mengelas listrik dan kini menanti panggilan kerja.

(Baca juga: Cerita Polisi Anak Pemecah Batu Cium Kaki Ayah, Dulu Tak Dianggap Kini Semua Datang Menyalami)

Warga terdampak yang sudah tersebar ada yang mampu mengontrak lahan dan jadi bertani di desa lain.

Tidak sedikit yang bergeser ke tempat wisata Pantai Glagah, jadi pedagang di sana, sedangkan anak mudanya bergabung di lahan-lahan parkir wisata atau masih menganggur.

“Seharusnya jangan jadi penonton, tetapi bisa dibekali, bisa ikut partisipasi (di bandara atau pembangunannya). Ada mahasiswa yang tadi petani, di sini banyak SDM putus sekolah. Biar mereka punya masa depan cerah,” kata Ketua Paguyuban Warga Terdampak Bandara Pantai Selatan (Patra Pansel) Ferry Teguh Wahyudi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com