Salin Artikel

Bandara New Yogyakarta International Airport, Warga Jangan Cuma Menonton

Belum lama ini, Angkasa Pura I mengklaim sudah tidak memiliki hambatan lagi untuk membangun bandara ini.

Bukan hanya tempat tinggal yang tersita pembangunan NYIA, tetapi juga hampar sawah, tegalan, tambak, hingga area wisata. Ribuan orang pun mengalami perubahan nasib, termasuk para petani yang menggarap sawah dan tegalan para tuan tanah.

Galih Restunawi dari Dusun 5 Desa Glagah juga merasakan perubahan itu. Pemuda 25 tahun ini dulunya bisa mengumpulkan belalang di lahan pertanian, disetor ke pengepul, lantas dijual ke pengolah di Wonosari. Dia biasa mengantongi setidaknya Rp 40.000 per kilogram belalang yang didapatinya dalam semalam.

“Tapi, semua tinggal kenangan,” kata Gilang.

Lahan itu sudah tidak ada lagi. Tuan tanahnya pergi setelah ganti rugi. Ayahnya terpaksa mengontrak lahan lain 5 kilometer jauhnya dari sawah semula. Galih tidak ikut membantu di sana. Dia memilih bergabung di usaha penumpukan pasir di Temon sebagai sopir.

Iksan Wahyu dari Dusun V Desa Glagah punya kenangan serupa Galih. Pemuda berusia 21 tahun ini baru saja lulus dari 24 hari pelatihan las listrik. Iksan dan orangtuanya dulu penggarap tegalan berisi sayur. Dari situ mereka memperoleh uang.

Setelah tanah garapan habis, belum ada lagi pekerjaan yang pas yang bisa menghasilkan uang untuk kehidupan sehari-hari.

Iksan memang punya kemampuan menyambung logam dengan las kini. Namun, tanpa penyaluran, Iksan pun gamang antara keinginan mandiri, mencari pengalaman, dan menunggu dalam ketidakpastian pembangunan bandara membuka perekrutan tukang las.

“Maunya mandiri (buka bengkel). Punya pengalaman dulu,” kata Iksan.

Dia bersama kelompoknya mencoba mencari cara memiliki mesin las. Menurut Iksan, kecakapan las yang dimilikinya, pengganti kecakapan tani, mesti segera ada penyalurannya.

Jangan cuma nonton

Galih dan Iksan, dua mantan penggarap pertanian di Desa Glagah. Mereka mendadak harus beralih dari petani jadi pekerja penuh daya saing.

Keduanya belum menatap masa depan pasti dengan kehadiran bandara dan pembangunannya. Beda dengan ketika jadi penggarap bersama orangtua.

Namun, Galih dan Iksan mengaku lebih beruntung ketimbang ratusan anak muda lain dari desa-desa terdampak. Galih sekarang jadi sopir di sebuah usaha penumpukan pasir. Iksan baru saja lulus dari pelatihan mengelas listrik dan kini menanti panggilan kerja.

Warga terdampak yang sudah tersebar ada yang mampu mengontrak lahan dan jadi bertani di desa lain.

Tidak sedikit yang bergeser ke tempat wisata Pantai Glagah, jadi pedagang di sana, sedangkan anak mudanya bergabung di lahan-lahan parkir wisata atau masih menganggur.

“Seharusnya jangan jadi penonton, tetapi bisa dibekali, bisa ikut partisipasi (di bandara atau pembangunannya). Ada mahasiswa yang tadi petani, di sini banyak SDM putus sekolah. Biar mereka punya masa depan cerah,” kata Ketua Paguyuban Warga Terdampak Bandara Pantai Selatan (Patra Pansel) Ferry Teguh Wahyudi.

Di sisi lain, mereka juga dibayangi kekhawatiran destinasi ini pada akhirnya ikut mati karena dampak pembangunan.

Wisnu Kartosentono, salah satu inisiator paguyuban, mengatakan, kebanyakan mereka adalah mantan penggarap lahan para tuan tanah. Mereka memiliki usia produktif, usia muda yang perlu dibina jadi SDM baik, tapi berakibat buruk di masa depan bila tidak dikelola.

Fenomena ‘putra daerah’ yang terdampak selagi pembangunan selalu terjadi di mana saja. Pendatang jadi pekerja pokok, warga yang lebih lama ada malah jadi penonton dan tersisih. Patra Pansel muncul dalam kegelisahan itu sejak Januari 207. Mereka menginginkan bahwa warga Temon tidak mengalami keterdesakan dan tersisih.

“Kami yang terdampak pembangunan bandara, tetapi bukan korban,” kata Wisnu.

Sejak berdiri di Januari 2017, Patra Pansel membuat sejumlah kegiatan mengelola warga terdampak, baik yang mengandalkan hidup di tempat wisata, wira usaha mandiri, maupun yang berharap bisa terlibat di bandara suatu hari nanti.

Untuk mewujudkan program itu, mereka memfasilitasi kegiatan pengembangan diri, termasuk pelatihan di balai latihan kerja, pelatihan sekuriti, pelatihan teknisi Air Conditioner, wira usaha, komputer, bahasa inggris, dll.

Ini dilakukan lantaran sentuhan pemerintah hingga Angkasa Pura pada mereka dirasa masih kurang.

“Kami yang mendorong orang untuk mau ikut pelatihan. Kami yang mendaftarkan. Pengumuman pelatihan juga harusnya terbuka, di tempat-tempat ibadah, di media massa, jangan cuma (pengumuman) di balai desa. Mendorong mereka ini sulit sekali,” kata Wisnu.

Menurut Wisnu, kesulitan ini akibat perubahan budaya mendadak dalam masyarakat yang tadinya petani menjadi pekerja servis.

“Seharusnya pemerintah door to door. Harusnya bukan kami yang melakukan,” kata Wisnu.

Wisnu mengatakan, ada dua kegiatan utama, yakni menghidupkan kembali destinasi Pantai Glagah yang terus surut, mengupayakan penerangan jalanan menuju pantai, dan berniat menghidupkan kawasan bumi perkemahan di sana. Di sana, warga jadi bisa mengandalkan hidup dari lokasi wisata.

Kegiatan lain, mereka mengembangkan usaha penumpukan pasir dengan merekrut pemuda-pemuda warga terdampak. Di usaha penumpukan pasir itu, setidaknya 15 orang ikut bekerja.

“Keduanya pilot project. Kami akan menunjukkan hasilnya,” kata Wisnu.

Mereka menyadari kepentingan umum mesti diutamakan. Sedangkan warga terdampak terpaksa ikut dalam perubahan budaya karena tidak boleh kalah bersaing dan akhirnya tersingkir.

Tidak hanya mantan penggarap. Megaproyek bandara memang menarik siapa pun, termasuk juga mantan pemilik lahan. Sudarso (50), warga Desa Kalidengen, Temon, berharap dirinya maupun anak-anaknya nanti bisa ikut berkembang seiring kehadiran bandara.

“Sebetulnya kami ingin. Soalnya kalau ada bandara, bisa berkembang seperti jualan, bekerja di sana. Terserah nanti. Kemampuan saya dan anak-anak lain-lain. Misal kerja, resik-resik ya tidak apa-apa. Senang,” kata Sudarso.

Sudarso bukan penggarap. Dia salah satu pemilik lahan yang mendapat ganti rugi akibat rencana dibukanya bandara baru. Dia sekarang punya sawah dengan ukuran dua kali lipat dari sebelumnya. Panennya pun melimpah 4 kali dari sebelumnya.

Dia mendapatkan ganti rugi senilai Rp 1,6 miliar atas lahan taninya di Desa Palihan. Uang itu dibelikan sawah yang lebih besar di Kalidengen, jauh dari sawah semula. Sudarso juga bisa membangun rumah 6x12 dengan pekarang 357 m2. Itu lumayan bagi Sudarso.

“Ya senang,” katanya.

Penghidupan mereka memang terasa berbeda kini. Ganti rugi atas lahan itu membuat kehidupannya bisa lebih baik. Hanya saja, Sudarso masih berharap, bandara baru membawa manfaat lebih besar dalam kehidupan keluarganya dan warga setempat.

Untuk dirinya atau anak-anaknya, Sudarso berharap bisa menikmati ikut dilibatkan, baik dalam proyek pembangunaan atau operasional bandara baru nanti....

https://regional.kompas.com/read/2018/03/26/11514931/bandara-new-yogyakarta-international-airport-warga-jangan-cuma-menonton

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke