Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebesaran Hati Seorang Guru yang Dihajar Muridnya dengan Kursi

Kompas.com - 10/03/2018, 15:47 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Meski demikian, Nur Kholis (55), suami dari Nuzul, berharap peristiwa yang dialami istrinya itu tetap diproses hukum sesuai dengan perbuatan pelaku.

"Hingga saat ini pihak keluarga tetap melakukan proses hukum, karena ya korban kan masih sakit, sambil menunggu bagaimana dari pihak kepolisian lah," ujar Nur Kholis.

Baca juga : Suami Guru Korban Pemukulan Muridnya Minta Proses Hukum Berlanjut

Nur Kholis menambahkan, pihaknya berkeyakinan bahwa kepolisian bisa bertindak dengan sebaik-baiknya dan tahu bagaimana menangani anak yang berkasus seperti pelaku.

Pada prinsipnya, proses hukum harus tetap dilanjutkan untuk pembelajaran bagi semuanya.

"Kebetulan saya juga guru, jadi memang kalau lihat di media sosial, banyak guru yang terpojokkan, dalam arti selalu disalahkan karena hak perlindungan anak, sehingga guru tidak berani bertindak," ujar Nur Kholis.

Memprihatinkan

Peristiwa penganiayaan itu pun memantik reaksi keras dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalimantan Barat.

Ketua PGRI Kalbar, Samion menyebutkan bahwa kondisi yang dialami para siswa saat ini sungguh memprihatinkan. Karena menurutnya, proses pembelajaran yang dialami siswa saat ini terjebak pada domain kognitif, sehingga lupa dengan domain afektif dan psikomotorik.

"Pertama kita sangat prihatin dengan adanya peristiwa tersebut. Selain itu, proses pembelajaran afektif dan psikomotor seolah-olah tidak menjadi perhatian, padahal afektif itu sendiri merupakan tujuan dari proses pembelajaran," ujar Samion saat dihubungi.

Samion menambahkan, ketika mengajar, selain untuk mengejar nilai juga mengajar bagaimana perilaku para siswa itu bisa berkembang, termasuk yang berkaitan dengan keterampilan anak didik.

Menurut Samion, pendidikan saat ini masih terjebak hanya pada mengejar nilai, sehingga mengabaikan perilaku, moral, akhlak atau yang lebih dikenal dengan pembentukan karakter.

"Begitu juga dengan keterampilan. Akibatnya ya seperti peristiwa ini, ketika guru hendak memberikan pembelajaran dan berupaya masuk ke ranah afektif, yang menurut siswa itu sendiri mungkin dianggap mengganggu, akhirnya mereka berontak," katanya.

Terlebih saat ini, terdapat kecenderungan para siswa kelas 3 SMP maupun SMA, saat berada di kelas tiga dan merasa tidak lama lagi akan meninggalkan sekolah, sehingga terkadang kerap berbuat di luar kendali.

"Kita berharap, pemerintah, masyarakat maupun pihak terkait untuk ikut melihat hal ini," ujarnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com