Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Warga Nonpribumi Tidak Boleh Punya Tanah di Jogja?

Kompas.com - 01/03/2018, 11:39 WIB
Markus Yuwono,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

Hubungan antarwarga

Berbeda dari Suyitno, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Hieronymus Purwanta mengakui adanya pembedaan terhadap warga nonpribumi dalam hal kepemilikan tanah di Yogyakarta.

"Ya, problemnya Yogyakarta memang begitu. Kalau dibilang tidak adil ya tidak adil, kalau dibilang diskriminasi ya diskriminasi. Aturan mainnya memang keturunan Tionghoa tidak memiliki tanah hak milik. Paling banter hak guna bangunan," katanya.

Purwanta mengatakan, jika merunut sejarah, Yogyakarta berbeda dengan wilayah lainnya yang didatangi pendatang dari berbagai negara. Hanya warga Tionghoa yang bekerja di sekitar Kota Gudeg ini.

Lokasinya di sekitar Kampung Ketandan, di dekat Pasar Tradisional Beringharjo. Mereka banyak yang menjalankan bisnis jual beli emas, pemungut cukai pasar, hingga simpan pinjam uang. Keturunan Tionghoa hanya terbatas di sekitar perkotaan, tidak sampai ke wilayah pedesaan.

Namun demikian, sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II yang bertakhta, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828, hubungan baik tetap terjalin antara warga pribumi dan non-pribumi.

Salah satu sejarah yang menunjukkannya adalah kisah tentang Tan Jin Sing antara tahun 1760 sampai 1831. Dia merupakan tokoh Tionghoa yang diangkat sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat karena kepandaiannya menjadi jembatan antara Sultan Hamengku Buwono III dan Thomas Stamford Bingley Raffles. Kini namanya dijadikan nama sebuah jalan di Yogyakarta.

Saat itu, Sultan memberikan tanah di sepanjang Jalan Ketandan dan dibangun dengan arsitektur Jawa, Eropa, dan China milik Tan Jin Sing sepanjang sekitar 700 meter. Saat ini, wilayah Ketandan dikenal dengan pecinan di Yogyakarta.

(Baca juga : Becak Listrik Tenaga Surya Karya Pak Guru untuk Yogyakarta Tercinta)

Kawasan pecinan di Yogyakarta memang sulit dilacak dari segi peninggalan sejarahnya. Apalagi penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia.

"Meski memiliki hubungan baik dengan keraton, tetapi mereka tetap dibatasi. Misalnya sudah sejak lama orang keturunan Tionghoa tidak boleh tinggal di desa, tapi di kota. Jadi sangat jarang orang Tionghoa ditemukan di desa. Itu jauh sebelum HB IX (mengeluarkan surat instruksi)," ungkap Purwanta.

Meski ada pembatasan terhadap warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta, Purwanta mengatakan, tak ada konflik pelik dalam hubungan antara warga pribumi dan nonpribumi. Kota Gudeg tetap nyaman untuk ditinggali maupun untuk menjalankan usaha.

Selain itu, minimnya kerusuhan karena keturunan Tionghoa di Yogyakarta tidak punya pesaing dari luar. Berbeda dengan Solo, lanjutnya, karena ada keturunan dari Yaman atau bangsa Arab yang datang sehingga persaingan untuk berbisnis lebih ketat.

Menurut dia, kebijakan tersebut karena mempertimbangkan berbagai macam faktor, misalnya karena kemampuan warga pribumi ketika dibiarkan bersaing dengan keturunan pendatang, mereka pasti akan kalah, baik itu zaman dulu maupun saat ini.

Pembatasan ini untuk melindungi masyarakat lokal dan pertimbangan masalah keamanan untuk keturunan Keraton Yogyakarta maupun warga pribumi. Agar ketika terjadi kesenjangan yang tinggi, tidak terjadi kerusuhan dengan pihak keturunan Tionghoa yang telah menguasai tanah.

"Kalau terjadi kesenjangan warga miskin akan muncul kerusuhan. Aturan itu mencegah penguasaan tanah kepada warga keturunan," tambahnya kemudian.

(Baca juga : Ketika Mahasiswi Muslim Memeluk Suster dalam Doa Lintas Iman di Yogyakarta)

Namun demikian, pihaknya berharap Pemprov DIY dan Keraton Yogyakarta mencari solusi terbaik agar tidak ada kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi hingga terkait Sultan Ground.

Pasalnya, lanjut Purwanta, konflik agraria kerap terjadi di DIY. Purwanta mengambil contoh konflik paling baru di Pantai Watu Kodok, Gunung Kidul, dan pembebasan lahan bandara di Kulon Progo.

Saat dihubungi terpisah, Kepala Badan Pertanahan DIY Tri Wibisono mengaku enggan berkomentar terkait tanah di Yogyakarta dan gugatan terkait tanah tersebut. "Untuk saat ini no comment dulu. Nanti takutnya kalau disampaikan sepotong-sepotong malah timbul presepsi buruk," kata Tri Wibisono.

Banding

Sebelumnya, Handoko, si penggugat, menyampaikan akan mengambil langkah banding yang akan diajukan 14 hari setelah putusan sidang kemarin.

"Saya akan mengajukan banding," tutur Handoko.

Gugatan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY diajukan oleh Handoko, warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY lantaran menjalankan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975.

"Saya menganggap pejabat yang menjalankan Surat Instruksi (Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975) itu melanggar hukum. Instruksi itu juga saya nilai mengandung diskriminasi," ujar Handoko.

Kompas TV Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku normalisasi sungai perlu dilanjutkan untuk mengatasi banjir yang melanda wilayah Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Ahok meminta warga bantaran kali untuk segera mengurus sertifikat kepemilikan tanah agar mendapat ganti rugi saat normalisasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com