Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa SD di Gorontalo Utara Ini Terpaksa Belajar Bareng Anjing

Kompas.com - 04/10/2017, 13:47 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

GORONTALO, KOMPAS.com –  Pagi-pagi, sekelompok siswa di Desa Bohulo terlihat ceria dengan seragam sekolahnya. Mereka bergegas menuju sekolah yang berada di pinggiran desa.

Sambil bercanda, Anisa Rahim, siswi kelas 5 dan temannya, Abdurrrahman  kelas 6 membincang pelajaran kemarin yang diajarkan guru. Ada hal yang menarik dalam penjelasan guru mereka.

Kaki mungil tanpa sepatu dan hanya mengenakan sandal jepit langsung menempati bangku kayu. Udara dingin pagi terasa menusuk tubuh. Karena ruang kelas tidak ada penghalang  dengan di luar, angin pagi langsung memberi kesejukan di dalam kelas.

Dari dalam kelas ini mereka bisa melihat orang desa membawa sapi ke ladang atau penjual sayur melintas di jalan. Tidak ada taman yang asri, yang ada hanya batu kali yang disusun sepanjang depan bangunan, hanya beberapa tanaman bunga yang tumbuh, sisanya tanah dan rumput.

Baca juga: Kebakaran Lahan, Sekolah Ikut Terbakar

Di bagian belakang bangunan sederhana ini, beberapa pohon kelapa tumbuh subur. Daunnya yang lebat menutupi seng penuh karat dari sengatan panas matahari. “Warga Desa Bohulo mengawali pembangunan sekolah ini karena tidak ada sekolah di desa hasil pemekaran ini,” kata Amin Rahman (34), Kepala Desa Bohulo, Rabu (4/10/2017).

Amin menceritakan, sebelum tahun 2012 warga desa prihatin dengan nasib pendidikan anak-anak mereka, Sekolah dasar yang terdekat di SDN4 Potanga, namun letaknya lumayan jauh. Anak-anak harus berjalan kaki untuk bisa sampai di sekolah. “Kami prihatin dengan kondisi pendidikan dan masa depan anak-anak desa,” ujar Amin.

Sekolah ini sebagian bangunannya masih darurat, 4 ruang kelas bagian bawahnya berdinding papan, sisanya dari bulu teto (bambu yang dibelah kecil membentuk lembaran), bahkan sebagian besar tanpa dinding. Dari dalam kelas, siswa bisa melihat kebun di sebelah bangunan ini.

Lantai sekolah ini masih berupa tanah. Papan tulis digantung di tiang kayu yang ditancapkan di tanah, sementara bagian belakangnya terlihat bulu teto reyot bergantung.

“Waktu itu kami hanya perlu minyak (bensin) untuk gergaji mesin, lalu kami memotong kayu dan menjadikannya sekolah, anak-anak kami harus dapat layanan pendidikan, apapun kami perjuangkan untuk itu,” ucap Amin.

Seorang guru yang mengajar di salah satu kelas di SDN 7 Biawu Kabupaten Gorontalo Utara.M SANTOSO Seorang guru yang mengajar di salah satu kelas di SDN 7 Biawu Kabupaten Gorontalo Utara.
Swadaya warga hanya mampu membuat 3 ruang kelas sederhana, namun tekad mereka untuk mewujudkan pendidikan sangat kuat. 3 kelas darurat berlantai tanah ini kemudian dibagi menjadi 4 ruangan yang ditempati kelas 1 sampai 4 hingga kini.

Ada 81 siswa yang bersekolah, 3 ruangan permanen ditempati siswa kelas 5, 6 dan dewan guru yang merangkap perpustakaan.

“Satu kelas permanen lantainya sudah pecah-pecah,” kata Jikran Jou (51), Kepala Sekolah SDN 7 Biawu.

Jikran menuturkan, saat musim hujan, setiap hari ruang kelas digenangi air.  Lumpur menjadi alas yang dipijak siswa dan guru. Kondisi ini sudah bertahun-tahun berlangsung.

Gangguan dalam proses belajar juga kerap terjadi. Orang lalu lalang sering mengintip di kelas yang berlubang-lubang ini.

“Bahkan binatang seperti anjing setiap hari menyerobot masuk ke kelas dan duduk di dalam ikut belajar,” kata Jikran Jou tertawa.

Di bawah becek, dari atas seng karatan yang berlubang meneteskan air. Sehingga konsentrasi siswa terganggu, proses kegiatan belajar pun terhenti.

Tidak hanya itu, di sekolah ini tidak ada air meskipun ada kamar mandi. Jika ada yang buang hajat mereka ke pembuangan milik warga sekitar.

Dalam kondisi seperti ini, SDN 7 Biawu ini hanya memiliki 9 orang guru. Dua orang berstatus aparat sipil negara (ASN) termasuk Jikran Jou, 4 tenaga honorer daerah, dan 3 guru tidak tetap lepas.

“Guru berstatus honorer gajinya sudah dianggarkan pemerintah sebesar Rp 700.000 setiap bulan, namun 3 orang guru tidak tetap ini tidak ada dananya untuk menggaji. Biasanya kami ambilkan dari dana bos sebesar Rp 200.000 sebulan,” kata Jikran.

Gaji yang sudah minim ini ternyata sering terlambat diterima guru. Tak jarang Jikran Jou menyisihkan uang pribadinya untuk menambah kekurangan yang diterima guru-guru. Faktor ini  sebut dia, membuat guru-guru harus merangkap kerja di tempat lain untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Sementara mengharapkan dana bantuan dari orangtua murid juga tidak mungkin dilakukan. Karena selain melanggar aturan,  kondisi para orangtua murid tidak memungkinkan. Mereka mayoritas bekerja sebagai petani dengan penghasilan pas-pasan.

“Kalau ada kayu yang lapuk, kami biasa minta sumbangan bambu dari orangtua. Mereka ikhlas memberikan,” kata Jikran.

Baca juga: Sekolah Beratapkan Daun dan Berlantai Kerikil, Anak-anak Ini Tetap Semangat Belajar

Kondisi sekolah di SDN 7 Biawu Gorontalo UtaraM SANTOSO Kondisi sekolah di SDN 7 Biawu Gorontalo Utara
Meski serba terbatas, para guru dan murid SD itu tetap bersemangat. Bahkan siswa dari sekolah darurat ini pun memiliki prestasi di cabang olah raga atletik yang mewakili Provinsi Gorontalo ke Jakarta.

Menurut Jikran, pihaknya sudah berupaya meminta bantuan pemerintah untuk mengatasi masalah sarana pendidikan yang serba kurang ini. Namun hingga kini belum ada kelanjutan.

“Saya sudah utarakan di depan Bupati Gorontalo Utara Indra Yasin dan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, sampai sekarang saya masih menunggu bantuan untuk masa depan pendidikan anak-anak.  Gorontalo juga Indonesia,” kata Jikran Jou.

Bagi Jikran Jou, masa depan siswanya juga masa depan bangsa Indonesia. Sehingga harus diisi dengan ilmu pengetahuan dan akhlak.

Di era sekarang tidak mudah mendidik siswa, lalu lalang informasi dan pengaruh budaya asing sepanjang hari di depan mereka. Namun dalam keterbatasan sarana belajar ini, Jikran Jou ini berharap anak didiknya kelak menjadi orang yang berguna dan berprestasi.

Dari ruang kelas yang reyot ini, kegaduhan siang terdengra. Bel jam pulang terdengar. Siswa pun berhamburan pulang. Masing-masing dengan tingkah polahnya menyusuri jalan desa yang panas.

Sejumlah guru, termasuk Jikran Jou yang mengendarai motor setiap hari membonceng siswa-siswanya yang searah perjalanan pulangnya.

Bohulo juga adalah Indonesia, masih banyak perjuangan yang harus dilakukan. Untuk generasi masa depan yang lebih baik.

Kompas TV Kemeriahan hari batik nasional sudah terasa sejak hari Minggu (1/10) kemarin dalam Karnaval Batik Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com