Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemangku Pura Besakih, Pagi Berdoa Sore Turun ke Zona Aman

Kompas.com - 02/10/2017, 07:03 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

KARANGASEM, KOMPAS.com - Jro Mangku Lingsir Sueca (79), pemangku Pura Besakih yang berada di bawah kaki Gunung Agung baru saja memimpin sembahyang, Sabtu (30/9/2017). Dengan baju adat, dia menerima Kompas.com di bagian pura atas.

Saat menemui Jro Mangku Lingsir Sueca, Kompas.com telah meminta izin kepada pihak kepolisian karena Pura Besakih masuk dalam zona merah dan berjarak 6 kilometer dari puncak Gunung Agung yang statusnya ditetapkan awas sejak 22 September 2017.

"Selama status gunung naik, setiap hari saya selalu ke Pura Besakih untuk berdoa dan sore turun kembali ke zona aman. Berdoa kepada Sang Hyang Widi agar melindungi kita semua dan menjauhkan dari marabahaya," jelas Mangku Sueca.

Ia mengaku, walau tidak sebanyak hari biasa, masih ada umat Hindu yang beribadah ke pura terbesar di Bali itu. Rata-rata mereka adalah warga yang tinggal di sekitar Besakih. Mereka singgah untuk sembahyang setelah melihat rumahnya.

(Baca juga: PVMBG: Magma Gunung Agung Terus Aktif untuk Menerobos ke Permukaan)

 

Mangku Sueca mengaku tidak bisa melarang warga untuk beribadah. Namun dia selalu mengimbau, secepat mungkin kembali ke zona aman setelah urusan selesai.

Mangku Suwice juga berpesan kepada keluarga yang berada di pengungsian, supaya tenang, berdoa, dan jangan percaya dengan isu yang beredar.

"Untuk wisatawan yang ingin ke Besakih tapi mendengar mencekamnya Besakih. Tunggu dulu karena itu sudah ada yang mengatur. Ada ahlinya. Jika sudah aman pasti akan dibuka kembali untuk wisata," ujar Mangku Sueca.

Pria yang murah senyum itu mengatakan, rencananya Pura Besakih akan menggelar upacara persembayangan dalam rangka Purnama Kapat pada 5 Otober 2017 nanti. Beberapa hal sudah dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan tersebut seperti memasang hiasan di sekitar pura.

"Jika tidak seperti ini keadaannya bisa ribuan orang yang datang, bahkan Gubernur juga datang tapi saya tidak tahu tahun ini seperti apa. Tapi tetap persembahyangan Purnama Kapat akan digelar," jelasnya.

Ia bercerita, pada saat letusan pertama kali Gunung Agung pada tahun 1963, dia sudah menjadi pengayah dan berada di Pura Besakih untuk mempersiapkan upacara piodalan.

Bahkan pada malam hari saat digelar tari-tarian di halaman pura, warga juga menonton pijar api yang keluar dari puncak Gunung Agung.

"Saya tidak merasakan tanda-tandanya karena saat itu di Pura sedang mempersiapkan acara besar. Yang saya rasakan hanya gempa besar hingga kemudian terdengar suara letusan yang dahsyat," jelasnya.

(Baca juga: Kisah Pengungsi Gunung Agung 1963: Gelap dan Kami Ngungsi Bawa Obor)

 

Saat itu, Mangku Sueca yang berada di dalam Pura Bekasih bercerita kondisi bangunan Pura Besakih sama sekali tidak rusak karena hawa panas atau lahar. Bahkan batu yang jatuh di pelataran pura ukurannya lebih kecil dari batu yang jatuh di tempat lain.

"Saat itu saya lihat sendiri ada batu besar di atas pura tapi kemudian ada petir yang menyambar hingga menjadi abu dan batu kecil yang jatuh di pelataran pura. Itu berkali-kali," jelasnya.

Baru sepekan setelah letusan pertama, ia pergi mengungsi ke tempat yang lebih aman setelah menyelesaikan upacara piodalan. 

Kompas TV Pada tahun 1963, banyak warga Bali yang menyelamatkan diri ke dusun ini dari letusan Gunung Agung kala itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com