Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Relawan Pupuk Nasionalisme di Desa yang Hanya Terima Siaran TV dari Malaysia

Kompas.com - 28/08/2017, 06:08 WIB
Sukoco

Penulis

Kompas TV Enam nelayan Indonesia ditangkap oleh aparat keamanan Malaysia di wilayah perbatasan Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Enam nelayan yang ditangkap adalah Supriadi, Dandu, Mustafa, Ferianto, Saprudin, dan Adi. Dengan menggunakan tiga perahu pada Jumat (3,3) lalu mereka mencari ikan di Perairan Tinagat. Mereka kemudian ditangkap petugas Patroli Maritim Malaysia di perairan Batu Tiga, Tawau Tinagat, Malaysia. Salah satu korban sempat menelepon keluarganya dan mengatakan, bahwa mereka masuk ke wilayah Malaysia, karena berusaha mengejar pukat yang terseret arus laut.

Jauh dan sulitnya jalan menuju Desa Batang membuat tim relawan memilih membuat tenda dan berkemah di desa tersebut selama pembangunan PAUD. Para relawan juga membawa sendiri bahan bangunan dari luar desa.

Renovasi tidak memakan waktu lama karena tim relawan tinggal menambal sulam kerusakan gubuk tersebut.

"Anggarannya dari urunan anggota forum," kata Wahyudi.

Setelah sekolah PAUD tersedia, permasalahan belum selesai. Ketersediaan pengajar di PAUD menjadi permasalahan berikutnya. Forum Bela Negara akhirnya kembali memberikan mandat kepada dua relawannya, Marlina dan Nurhasanah untuk mengajar dan tinggal sementara di gubuk yang sudah direnovasi tersebut.

“Sejak dibuka PAUD langung mendapat siswa 20 orang,” kata Wahyudi.

Baca juga: Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Sebatik Pecahkan Rekor Muri

Melihat kecenderungan warga Desa Batang yang lebih mudah mengakses informasi serta kebutuhan pokok kepada Negara Malaysia, tim relawan akhirnya memberi nama PAUD tersebut bela negara.

Beberapa materi pelajaranyang diajarkan adalah pengenalan terhadap Pancasila, nama tokoh negara Indonesia serta kota-kota besar yang ada di Indonesia. Materi pelajaran tersebut diberikan untuk memupuk nasionalisme anak bangsa di wilayah yang masih terisolasi.

“Materi yang ringan seperti nama presiden, Pancasila dan nama ibu kota negara. Ini untuk menstimulus kebangsaan sejak dini,” pungkas Wahyudi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com