Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkah Buah Naga di Tanah Gersang Para Transmigran

Kompas.com - 23/11/2016, 16:47 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

Saat pertama kali panen, ia hanya mendapatkan 3-4 kg saja. Bersama keluarganya, buah ini dinikmati kesegarannya. Warnanya merah merona penuh air mengundang selera siapa saja yang melihatnya.

“Kalau mengenang saat mengenal tanaman ini pertama kali, saya tertawa sendiri, saya bingung bagaimana cara menanamnya,” kata dia sambil tertawa.

Melihat ada potensi ekonomi yang bagus dalam tanaman naga ini, keluarga ini kemudian semakin rajin menanamnya.

Bersama sang suami, ladang seluas setengah hektar ditanami naga merah.

Tidak sulit bagi keluarga yang sudah tertempa kondisi sulit di Desa Banuroja ini untuk menananm buah naga. Seperti petani pada umumnya, setiap meletakkan bibit naga di tanah disertai doa dan harapan dalam hati. Semoga apa yang ditanamnya akan membuahkan hasil yang bagus.

Harapan ini juga dibawa di kala ia bersembahyang memuja Tuhan dengan tulus, pengharapan untuk mencari hidup lebih baik ditabur melalui doa. Sebagai keluarga agraris, I Wayan Surip menjalankan kehidupan relijinya secara sederhana penuh ikhlas.

“Kami ini petani, pokoknya menanam saja sambil berdoa, biarkan Tuhan yang berkehendak,” ucapnya.

Kerja keras dan doanya dijawab Tuhan,  buah naga yang ditanamnya di tanah kering Desa Banuroja ini berbuah. Ada 700 pohon yang berbuah serentak pada November ini, semuanya ada 1,5 ton.

Bulan November adalah puncak panen buah naga. Seluruh tanaman serentak menghasilkan buahnya. Ini adalah buah dari ketekunan dan kesabaran setelah berpuluh tahun merawat tanah gersang.

Setengah hektar tanaman naga lain yang baru ditanamnya belum sepenuhnya menghasilkan, namun melihat perkembanganya akan segera menghasilkan buah naga merah yang manis.

Menurut dia, tanaman naga menghasilkan buah sepanjang tahun, buah ini tidak berhenti berbuah. Sehingga setiap bulan ia masih mendapatkan 50 kg buah segar ini untuk dijual. Hasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

“Anak saya sekarang ada yang kuliah di Manado, yang lain bekerja di Jepang dan ada yang tinggal di Bali,” ujarnya bangga.

Meski merasa diberi berkah berlimpah, dalam kehidupan sehari-hari wanita sederhana ini menjalankan aktivitasnya  seperti petani desa lainnya.

Keberhasilan I Wayan Surup ini kemudian ditiru tetangga-tetangganya, mereka mulai menanam buah ini di pekarangan rumah. Tanah tandus Desa Banuroja mulai semarak dengan juluran batang buah naga.

Manisnya buah ini telah menggerak ekonomi masyarakat Desa Banuroja. Tamu yang berkunjung selalu menyinggahi para petani untuk membawa 5-10 kg buah naga merah yang manis.

Perlahan-lahan desa ini dikenal oleh masyarakat Pohuwato, dan kemudian menjadi pembicaraan di luar daerah.

Tamu-tamu pesantren Salafiyah Syafiiyah selalu menyinggahi rumah I Wayan Surup yang beragama Hindu untuk membawa oleh-oleh buah naga ke daerahnya. Tidak banyak yang dibawa, namun banyak orang yang membawanya.

I Wayan Surup dan juga petani lainnya selalu menyambut gembira setiap kendaraan yang singgah. Mereka selalu datang membawa rejeki untuk orang desa.

Dalam keberagaman agama dan suku, Desa Banuroja membawa kabar kerukunan antar umat beragama. Banuroja adalah kependekan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa. Keempat suku ini hidup berdampingan secara rukun, mereka bekerja bersama mengatasi kesulitan hidup.

Niat untuk hidup dalam keberagaman kepercayaan dan menjaga lingkungan hidup ini mendapat dukungan dari Burung Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi. Para tokoh agama difasilitasi untuk membuat kesepakatan bersama mendorong pemuliaan lingkungan, dan mencegah perusakan.

“Merusak lingkungan berarti mengingkari niat mulia kehidupan, ini bertentangan dengan semua agama di Indonesia,” kata Alim Mukmin, pengasuh pesantren Salafiyah Syafiiyah.

Semangat I Wayan Surup dan warga desa lainnya yang berhasil mengatasi masalah hidup menjadi cerita yang menarik siapa saja yang datang ke desa di pinggiran bukit ini.

Meski sudah berhasil menjalani ujian hidupnya, I Wayan Surup masih rutin membawa pupuk kandang untuk ditabur pada tanaman naga. Kesehariannya dilalui dengan bersyukur, ia merasakan kehidupanya sangat manis, seperti saat tetamunya merasakan hasil buah naganya.

Masih ada 15 hektar ladangnya yang menanti untuk ditanami buah naga merah yang manis ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com