Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkah Buah Naga di Tanah Gersang Para Transmigran

Kompas.com - 23/11/2016, 16:47 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

GORONTALO, KOMPAS.com –  Mata I Wayan Surup (60) berbinar saat menatap tumpukan buah naga merah di ruang tamunya yang menggunung.

Janda penduduk Desa Banuroja Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato ini berbungah hati karena panen buah naga kali ini melimpah.

Ia telah menimbang buah naga yang dipetiknya, semuanya seberat 1,5 ton. Dalam perhitungan kasarnya, jika 1 kg dijual seharga Rp 20.000 maka ia akan menggengam uang Rp 30 juta, padahal di kebunnya masih banyak buah yang siap petik juga.

“Kebun yang panen hanya setengah hektar, yang setengahnya lagi masih berbunga” kata Wayan Surup, Rabu (23/11/2016).

Wanita yang usianya sudah tidak muda ini masih gesit merawat buah naga di kebun tak jauh dari rumahnya. Ia memangkasi sebagian batang tanaman ini, dan sesekali membersihkan tanah di bawahnya.

Surup dan suaminya adalah generasi pertama transmigran dari pulau Bali yang merintis kehidupan di desa ini. Selain mereka juga  ada transmigran dari DKI Jakarta, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Awal kehidupan di desa ini sangat sulit, tanah masih berupa hutan, dan para transimgran harus bertahan dengan kondisi yang serba sulit.

Saat musim kemarau di tahun 1980-an, kehidupan sangat sulit. Tidak ada lagi bahanan makanan yang tersisa di rumah warga. Lewat ajakan KH Abdul Ghofir Nawawi (saat ini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Banuroja), warga berbagai kepercayaan dan suku ini masuk  hutan mencari bitule (gadung, Dioscorea hispida).

Saat menemukan buah bitule yang berbentuk umbi ini, mereka tidak serta-merta memakannya, karena umbi ini beracun. Mereka harus mengolahnya terkebih dulu, mengiris tipis, menjemur, dan merebus untuk dimakan.

Kondisi hidup masyarakat seperti ini menjadi hal biasa, mereka harus bertahan dalam kondisi lahan yang belum dapat diolah sebagai ladang atau sawah pertanian. Mereka harus keluar hutan untuk dapat mengganjal perut.

Alam yang keras ini membuat sebagain trasmigran tidak tahan, satu persatu meninggalkan desa ini dengan berjalan kaki menuju Marisa, ibu Kota Kabupaten Pohuwato untuk pulang ke daerah atau menuju daerah lain yang lebih menjanjikan.

Yang paling banyak meninggalkan desa ini adalah mereka yang berasal dari DKI Jakarta. Perbedaan kehidupan di ibu kota dengan pedesaan pinggir hutan ini membuat mereka memutuskan untuk pindah.

“Daerah ini sulit air hingga saat ini,” kata Abdul Ghofir Nawawi.

Tekad yang kuat untuk bertahan hidup dalam kondisi yang keras ini membuat mereka fokus pada pemenuhan kebuhan dasar. Perbedaan karena keberagaman suku dan kepercayaan diabaikan, para petani miskin ini akhirnya dapat bertahan hidup.

Kondisi yang sulit mendapatkan air ini membuat I Wayan Surup dan suaminya mencoba bertanam sapa saja yang dapat membantu meringankan beban hidup.  Mereka menabur benih jagung di tegalan, tanaman keras, bahkan bawang merah.

Upaya diversifikasi tanaman ini membantu mereka memulihkan kondisi hidup. Perlahan-lahan mereka memperbaiki taraf hidup, kelebihan hasil pertanian dijual dan hasilnya untuk dibelanjakan kebutuhan lainnya.

Hingga suatu hari, I Wayan Surup membeli bibit buah naga, entah bagaimana ketertarikannya, ia hanya ingat membayar Rp 50.000 sebuahnya. Kemudian ditambah bibit seharga Rp 200.000.

“Saya tidak tahu tahun berapa itu, saya ini tidak sekolah, buta huruf, tidak tahu membaca,” kata I Wayan Surup polos.

Tanah desa yang kurang subur ini ditancapi bibit buah naga. Ia merawat tanaman yang dirasa aneh ini dengan sepenuh hati. Ia tidak berharap lebih, ia hanya ingin melihat tanaman ini tumbuh seperti apa.

“Suatu hari anak saya memberitahu harga sebutir buah naga di Manado, Sulawesi Utara seharga Rp 30.000. Saya kaget, ternyata harganya mahal. Kabar ini yang mebuat saya semakin giat merawat naga di halaman samping,” ungkap I Wayan Surup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com