Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Kemarahan Menteri Siti Nurbaya dan Kongko Polisi

Kompas.com - 14/09/2016, 22:19 WIB

Tim Redaksi

Perusahaan mengatur dan membiayai seluruh proses sejak persiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemupukan, perawatan sampai memanen tanaman berproduksi dan pengelolaan pascapanen.

Dalam artian, warga kelompok tani sama sekali tidak ikut mengelola kebun sawit itu. Kalaupun ada anggota kelompok tani yang bekerja di PT APSL, berstatus sebagai buruh yang digaji perusahaan.

Seluruh petani anggota kelompok mendapat bagian dari hasil panen sebesar 30 persen sedangkan perusahaan mendapat bagian 70 persen, sesuai akad perjanjian.

Dengan pola managemen seperti itu ketika lahan terbakar, siapa yang mesti bertanggungjawab? Perusahaan yang mendapat keuntungan lebih besar atau petani yang mengaku pemilik lahan?

Fakta lainnya, menurut Ketua Kelompok Tani Desa Bonai, Abdul Gani Roy, organisasinya memiliki anggota 980 orang. Masing-masing anggota memiliki lahan seluas dua hektar atau total 1.960 hektar.

Di lapangan, lahan kelompok tani Bonai yang dikerjakan PT APSL ternyata mencapai 5.000 hektar. Pertanyaannya, sisa luas lahan 3.040 hektar menjadi milik siapa?

Masih persoalan sama, Kelompok Tani Desa Siarang-arang, Rokan Hilir, memiliki lahan 3.300 hektar. Namun anggota kelompok taninya hanya 750 orang atau total areal 1.500 hektar. Pertanyaan sama, sisa lahan 1.800 milik siapa?

Jefriman yang menjadi juru bicara kelompok tani yang menyandera tujuh pegawai KLHK, mengatakan bahwa lahan kelompok tani sekarang adalah tanah adat.

Namun secara terus terang dia mengakui dahulunya tanah itu eks perusahaan HPH PT Rokinan Jaya Timber yang ditinggalkan begitu saja. Kayu-kayu besar di hutan itu sudah lama habis dibabat namun reboisasi tidak pernah dilaksanakan perusahaan itu.

Pada tahun 2000, lahan eks PT Rokinan Jaya Timber diambil alih warga mengatasnamakan tiga suku. Tahun 2006, dibentuk kelompok tani untuk mengurus lahan itu.

Pada tahun 2008, ninik mamak atau penguasa adat, membuat ikatan kerja dengan PT APSL untuk mengelola lahan menjadi kebun kelapa sawit.

Menurut Jefriman, sejak 2006 pihaknya sudah mengupayakan pengesahan tindakan pengambilan hak atas tanah hutan itu. Alasannya, sebagai warga yang berada di daerah kaya minyak (di Desa Bonai memililki lebih dari 50 sumur minyak) sebagian besar penduduknya miskin.

Untuk mengatasi kemiskinan, warga merasa berhak mengokupasi lahan negara. Toh mereka juga merupakan anak negara ini. Namun Kementerian LHK tidak mau melepasnya.

Pertanyaannya, apakah dengan dalih kemiskinan, warga diperbolehkan melanggar aturan?
Pertanyaan lainnya, mengapa PT APSL bersedia menjadi bapak angkat kelompok tani itu?

Sebagai pemodal yang memiliki divisi hukum dan mengerti aturan hukum dan perundang-undangan, semestinya perusahaan meneliti status tanah milik calon anak asuhnya sebelum diajak bekerja sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com