Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Kemarahan Menteri Siti Nurbaya dan Kongko Polisi

Kompas.com - 14/09/2016, 22:19 WIB

Tim Redaksi

PERUSAHAAN perkebunan kelapa sawit PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) tengah menjadi sorotan. Persoalan yang terjadi di perusahaan itu susul menyusul.

Awalnya, kebun korporasi yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir, Riau itu, terbakar hebat pada pertengahan Agustus 2016. Ribuan pekerjanya bahkan terpaksa mengungsi di tepian Sungai Rokan Kiri, Desa Bonai, Kecamatan Bonai Darusalam, Rokan Hulu.

Setelah kebakaran, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar marah sembari mengeluarkan pernyataan keras terkait penyanderaan tujuh pegawai KLHK oleh sekelompok masyarakat yang dituding digerakkan oleh PT APSL.

Menurut Siti Nurbaya, penyanderaan anak buahnya itu terkait dengan pemasangan plang penyegelan areal kebakaran di wilayah konsesi perusahaan itu.

Siti Nurbaya semakin berang tatkala mengetahui lokasi sawit perusahaan itu berada dalam kawasan hutan produksi terbatas. Kesimpulannya, tanaman sawit itu ilegal karena ditanam di lahan milik negara.

Modus yang dilakukan PT APSL adalah menggunakan tangan warga setempat untuk merambah hutan dan kemudian dijadikan mitra kerja atau sebagai anak angkat. Pola kemitraan seperti itu, kata Siti Nurbaya, merupakan modus umum yang dilakukan oleh perusahaan nakal.

Kemarahan Siti Nurbaya langsung ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK dengan memprioritaskan pemeriksaan korporasi dimaksud.

Tidak tanggung-tanggung, ada tiga masalah yang akan dihadapi PT APSL. Pertama, soal lahan terbakar yang diduga ada unsur kesengajaan. Kedua, melakukan perambahan hutan negara. Ketiga, gugatan perdata.

Belum habis kemarahan Siti Nurbaya, beredar pula foto beberapa petinggi polisi Polda Riau yang terlihat kongko-kongko dengan Anton Yan, Presiden Direktur PT APSL yang sedang bermasalah itu.

Dalam foto terekam keakraban antara polisi dengan pengusaha tersebut saat adegan tos.
Foto-foto itu sempat dikaitkan dengan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga membakar lahan pada kejadian tahun 2015.

Tuduhan itu terasa wajar apabila masyarakat melihat foto kedekatan polisi dengan pengusaha bermasalah. Secara etis, kurang pantas polisi bercengkrama dengan pemilik perusahaan yang sedang dalam penyelidikan kasus pidana.

Hanya saja, pemeriksaan foto-foto itu kini dinyatakan sudah berakhir karena Mabes Polri mengatakan acara foto di pertemuan itu tidak disengaja.

Di balik kasus kemarahan Siti Nurbaya dan foto-foto kongko polisi, ada beberapa hal yang layak dicermati dari fakta-fakta yang terkuak. Pertama keterangan pengacara PT APSL Novalina Sirait yang menyatakan tidak ada lahan perusahaan yang terbakar.

Dalil Novalina, PT APSL hanya memiliki lahan seluas 3.100 hektar yang seluruhnya berada di Desa Sontang, Kecamatan Bonai, Rokan Hulu. Adapun lahan yang terbakar milik kelompok tani, anak angkat PT APSL yang (wilayahnya) berada di Desa Bonai, Rokan Hulu dan Desa Siarang-arang, Rokan Hilir.

Meski demikian, Novalina mengakui, meski (lahan) dimiliki kelompok tani, seluruh pekerjaan lapangan dikelola oleh PT APSL secara penuh.

Perusahaan mengatur dan membiayai seluruh proses sejak persiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemupukan, perawatan sampai memanen tanaman berproduksi dan pengelolaan pascapanen.

Dalam artian, warga kelompok tani sama sekali tidak ikut mengelola kebun sawit itu. Kalaupun ada anggota kelompok tani yang bekerja di PT APSL, berstatus sebagai buruh yang digaji perusahaan.

Seluruh petani anggota kelompok mendapat bagian dari hasil panen sebesar 30 persen sedangkan perusahaan mendapat bagian 70 persen, sesuai akad perjanjian.

Dengan pola managemen seperti itu ketika lahan terbakar, siapa yang mesti bertanggungjawab? Perusahaan yang mendapat keuntungan lebih besar atau petani yang mengaku pemilik lahan?

Fakta lainnya, menurut Ketua Kelompok Tani Desa Bonai, Abdul Gani Roy, organisasinya memiliki anggota 980 orang. Masing-masing anggota memiliki lahan seluas dua hektar atau total 1.960 hektar.

Di lapangan, lahan kelompok tani Bonai yang dikerjakan PT APSL ternyata mencapai 5.000 hektar. Pertanyaannya, sisa luas lahan 3.040 hektar menjadi milik siapa?

Masih persoalan sama, Kelompok Tani Desa Siarang-arang, Rokan Hilir, memiliki lahan 3.300 hektar. Namun anggota kelompok taninya hanya 750 orang atau total areal 1.500 hektar. Pertanyaan sama, sisa lahan 1.800 milik siapa?

Jefriman yang menjadi juru bicara kelompok tani yang menyandera tujuh pegawai KLHK, mengatakan bahwa lahan kelompok tani sekarang adalah tanah adat.

Namun secara terus terang dia mengakui dahulunya tanah itu eks perusahaan HPH PT Rokinan Jaya Timber yang ditinggalkan begitu saja. Kayu-kayu besar di hutan itu sudah lama habis dibabat namun reboisasi tidak pernah dilaksanakan perusahaan itu.

Pada tahun 2000, lahan eks PT Rokinan Jaya Timber diambil alih warga mengatasnamakan tiga suku. Tahun 2006, dibentuk kelompok tani untuk mengurus lahan itu.

Pada tahun 2008, ninik mamak atau penguasa adat, membuat ikatan kerja dengan PT APSL untuk mengelola lahan menjadi kebun kelapa sawit.

Menurut Jefriman, sejak 2006 pihaknya sudah mengupayakan pengesahan tindakan pengambilan hak atas tanah hutan itu. Alasannya, sebagai warga yang berada di daerah kaya minyak (di Desa Bonai memililki lebih dari 50 sumur minyak) sebagian besar penduduknya miskin.

Untuk mengatasi kemiskinan, warga merasa berhak mengokupasi lahan negara. Toh mereka juga merupakan anak negara ini. Namun Kementerian LHK tidak mau melepasnya.

Pertanyaannya, apakah dengan dalih kemiskinan, warga diperbolehkan melanggar aturan?
Pertanyaan lainnya, mengapa PT APSL bersedia menjadi bapak angkat kelompok tani itu?

Sebagai pemodal yang memiliki divisi hukum dan mengerti aturan hukum dan perundang-undangan, semestinya perusahaan meneliti status tanah milik calon anak asuhnya sebelum diajak bekerja sama.

Atau jangan-jangan, tudingan Menteri Siti bahwa alasan mengajak warga membangun kebun plasma di atas lahan negara sebagai modus perusahaan nakal, benar adanya.

Uniknya lagi, mengapa ada lembaga perbankan yang bersedia membiayai perkebunan di lahan perambahan itu?

Namun, terlepas dari persoalan-persoalan pelik di atas, pemerintah negara ini (baca : Kementerian LHK) sebenarnya memiliki kesalahan yang tidak kecil. KLHK lalai melaksanakan tugasnya mengawasi hutan-hutan miliki negara.

Kesalahan itu dimulai semenjak hengkangnya PT Rokinan Jaya Timber di desa itu. Kalau saja informasi bahwa ninik mamak sudah mengambil alih lahan sejak tahun 2000.  Berarti sudah 16 tahun negara tidak pernah hadir menampakkan diri sebagai penguasa hak di sana.

Rentang waktu dua windu adalah periode sangat panjang. Apapun dapat terjadi dalam kurun waktu selama itu.

Jadi dapat dikatakan, persoalan PT APSL sekarang ini berawal dari persoalan dasar yang dimunculkan oleh kelalaian pemerintah. Di Riau dan daerah lain di Indonesia, masih banyak PT APSL – PT APSL lain yang menduduki lahan negara, karena pemerintah sebagai pemilik lahan memang tidak pernah hadir menjaga miliknya.

Kekerasan hati Menteri LHK menggugat perusahaan-perusahaan bermasalah, seperti APSL, harus diacungi jempol. Banyak perusahaan bahkan yang berskala raksasa ciut melihat aksi “sadis” Siti Nurbaya.

Namun, Siti Nurbaya harus melakukan instrospeksi bahwa lembaga yang dipimpinnya juga memiliki kelemahan mendasar yang mesti cepat diperbaiki.

Mengembalikan kehadiran negara di hutan-hutan terbengkalai dan sengketa adalah tugas yang tidak kalah penting sembari menghukum perusahaan (diduga) bermasalah seperti PT APSL.

Sudah banyak bukti, lahan yang secara de jure milik negara lebih banyak mengalami kebakaran dibandingkan lahan rakyat sejati.

Setiap saat negara ini dituding sebagai produsen asap atau perusak lingkungan hanya untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Padahal kelapa sawit hanyalah kambing hitam dari lemahnya hukum yang ditegakkan di lapangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com