Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sudahlah, Mungkin Takdir Kita Harus Pergi..."

Kompas.com - 18/11/2015, 14:20 WIB
Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty

Penulis


Pasrah

Saat itu, di sudut jalan sempit, Halima hanya bisa terpaku sambil menatap tenda tempat tinggalnya dibongkar paksa lalu dibakar aparat bersenjata.

Wanita paruh baya asal Sulawesi Tenggara ini tak mampu berbuat banyak dan hanya diam tanpa melawan saat aparat berseragam loreng dan cokelat mulai memasuki kawasan Jalur D Gunung Botak dan memaksa warga meninggalkan areal tersebut.

Hanya beberapa bungkus karung berisi barang-barang saja yang berhasil diselamatkan dari tenda tempat tinggalnya karena sisanya habis terbakar dilalap api.

“Banyak barang-barang saya yang tidak dapat diselamatkan, hanya sedikit saja yang saya bawa, sisanya terbakar,” kata Halima, seorang pedagang di kawasan itu, Minggu lalu.

Halima tidak sendiri. Bersama dua anaknya, mereka memilih merantau ke Pulau Buru setelah mendengar kabar kawasan itu berlimpah emas.

Setelah tiba Pulau Buru, janda dua anak itu bersama kedua anaknya kemudian mengadu nasib di Gunung Botak. Halima membuka warung makan sedangkan dua anaknya memilih menjadi tukang pikul material tambang atau biasa disebut kijang oleh masyarakat setempat.

Selama dua setengah tahun, Halima mengaku bisa mengumpul uang dengan baik. Penghasilan setiap hari pun lumayan bagus meski banyak warung juga yang buka di kawasan tersebut.

Halim sendiri rela membanting tulang di rantau orang karena berkeinginan hidup layak dengan hasil jerih payah yang dikumpulkannya selama ini di hari tuanya. Namun, harapan itu musnah seketika setelah tambang Gunung Botak resmki ditutup.

“Di sini kita sudah anggap seperti kampung kita sendiri, di sini kita mendapat banyak rezeki tapi sudahlah mungkin sudah takdir kita harus pergi,” kata janda berusia 50 tahun itu dengan suara bergetar.

Sama seperti Halima, sejumlah warga dan penambang lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka hanya bisa pasrah dengan keadaan yang terjadi setelah tempat usaha dan tenda tempat tinggal mereka dibakar.

Mahmut, salah satu penambang setempat, mengaku dia bahkan tak sempat menyelamatkan barang-barangnya saat api membakar tenda-tenda yang ada di kawasan itu.

Dia mengaku sempat melawan, namun apa daya dia sadar dia sedang berhadapan dengan alat Negara saat itu.

“Kita tahunya batas pengosongan lahan itu sampai tanggal 18 November sesuai dengan yang disampaikan kepada kami. Jadi jujur saja saya waktu itu sedang ke Namlea saat kembali barang-barang saya sudah terlempar diluar, sisanya terbakar,” katanya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com