Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sudahlah, Mungkin Takdir Kita Harus Pergi..."

Kompas.com - 18/11/2015, 14:20 WIB
Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty

Penulis

AMBON,KOMPAS.com - Debu jalanan beterbangan di sepanjang jalan menuju Jalur D kawasan Gunung Botak Pulau Buru yang dihuni ribuan penambang ilegal dari berbagai daerah.

Di kawasan tersebut, berdiri ribuan bangunan kios dan tenda tempat tinggal para penambang yang saling berhimpitan.

Tak jauh dari tenda-tenda berwarna biru itu, terdapat juga alat pengolahan emas jenis tromol dan tong yang berdiri di bercampur di pemukiman warga dan petambang.

Namun, dalam waktu seketika, semuanya berubah setelah bangunan-bangunan dan ribuan tenda di kawasan itu dirobohkan dan dibakar.

Api melalap setiap bangunan dan tenda yang berdiri semrawut. Hanya suara gemuruh angin bercampur keresahan warga dan suara letupan dari bangunan-bangunan dan tenda terbakar yang sesekali terdengar.

Di setiap sudut, warga terlihat sibuk melawan kobaran api yang nyaris saja memusnahkan harta benda mereka.

Sebagian dari mereka hanya bisa pasrah namun banyak dari mereka yang bersuara lantang hingga mengumpat.

Minggu (15/11/2015) siang itu mungkin menjadi hari yang paling naas bagi ribuan penambang dan para pedagang yang sekedar mencari nafkah dengan cara berjualan di kawasan tersebut. Di bawah terik matahari yang seakan membakar kepala, mereka harus menyaksikan tenda dan kios mereka dirobohkan dan dibakar.

Udara bercampur debu beterbangan sambil menyatu dengan kepulan asap pekat dari tenda-tenda yang terbakar. Tidak ada perang saat itu, namun warga begitu ketakutan dan panik.

Di sana-sini terlihat kobaran api disertai kepulan asap pekat yang membumbung tinggi ke udara, dan warga hanya bisa pasrah.

Pasrah

Saat itu, di sudut jalan sempit, Halima hanya bisa terpaku sambil menatap tenda tempat tinggalnya dibongkar paksa lalu dibakar aparat bersenjata.

Wanita paruh baya asal Sulawesi Tenggara ini tak mampu berbuat banyak dan hanya diam tanpa melawan saat aparat berseragam loreng dan cokelat mulai memasuki kawasan Jalur D Gunung Botak dan memaksa warga meninggalkan areal tersebut.

Hanya beberapa bungkus karung berisi barang-barang saja yang berhasil diselamatkan dari tenda tempat tinggalnya karena sisanya habis terbakar dilalap api.

“Banyak barang-barang saya yang tidak dapat diselamatkan, hanya sedikit saja yang saya bawa, sisanya terbakar,” kata Halima, seorang pedagang di kawasan itu, Minggu lalu.

Halima tidak sendiri. Bersama dua anaknya, mereka memilih merantau ke Pulau Buru setelah mendengar kabar kawasan itu berlimpah emas.

Setelah tiba Pulau Buru, janda dua anak itu bersama kedua anaknya kemudian mengadu nasib di Gunung Botak. Halima membuka warung makan sedangkan dua anaknya memilih menjadi tukang pikul material tambang atau biasa disebut kijang oleh masyarakat setempat.

Selama dua setengah tahun, Halima mengaku bisa mengumpul uang dengan baik. Penghasilan setiap hari pun lumayan bagus meski banyak warung juga yang buka di kawasan tersebut.

Halim sendiri rela membanting tulang di rantau orang karena berkeinginan hidup layak dengan hasil jerih payah yang dikumpulkannya selama ini di hari tuanya. Namun, harapan itu musnah seketika setelah tambang Gunung Botak resmki ditutup.

“Di sini kita sudah anggap seperti kampung kita sendiri, di sini kita mendapat banyak rezeki tapi sudahlah mungkin sudah takdir kita harus pergi,” kata janda berusia 50 tahun itu dengan suara bergetar.

Sama seperti Halima, sejumlah warga dan penambang lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka hanya bisa pasrah dengan keadaan yang terjadi setelah tempat usaha dan tenda tempat tinggal mereka dibakar.

Mahmut, salah satu penambang setempat, mengaku dia bahkan tak sempat menyelamatkan barang-barangnya saat api membakar tenda-tenda yang ada di kawasan itu.

Dia mengaku sempat melawan, namun apa daya dia sadar dia sedang berhadapan dengan alat Negara saat itu.

“Kita tahunya batas pengosongan lahan itu sampai tanggal 18 November sesuai dengan yang disampaikan kepada kami. Jadi jujur saja saya waktu itu sedang ke Namlea saat kembali barang-barang saya sudah terlempar diluar, sisanya terbakar,” katanya.

Terlantar

Penderitaan ribuan penambang tidak sebatas itu saja. Saat sudah mengangkat kaki dari kawasan Gunung Botak, mereka masih dihantui rasa khawatir soal biaya perjalanan menuju kampong halamannya.

Bagi penambang yang sudah lama berada di Gunung Botak mungkin tidaklah terlalu berat, namun bagi mereka yang baru datang di Gunung Botak tentu akan merasa cemas karena uang yang mereka kumpulkan belumlah seberapa.

“Saya belum sampai sebulan disini dan saat ini saya sudah harus pulang padahal belum punya uang, saya tidak tahu lagi mau cari uang dimana saat ini,” ujar Efendi, penambang asal Gorontalo.

Para penambang ilegal ini mengaku telah ditipu, sebab saat sosialisasi hingga pengosongan kawasan Gunung Botak dilakukan ada jaminan mereka akan ditanggung tiket pulang ke kampong halamannya masing-masing.

Namun ternyata, itu hanyalah siasat untuk membujuk para petambang meninggalkan Gunung Botak.

“Waktu sosialisasi aparat mengatakan tiket gratis akan diberikan kepada seluruh penambang yang mau pulang ke kampung halaman, tapi yang terjadi apa kita hanya ditipu,” ujarnya.

Meski mengaku penambangan yang dilakukan bersifat ilegal dan mengancam kelestarian lingkungan serta keselamatan hidup orang banyak, namun para penambang beranggapan jika yang patut disalahkan adalah mereka yang sengaja membawa masuk sianida dan merkuri ke Gunung Botak.

“Itu orang-orang besar, mereka punya tong, kita masyarakat kecil tidak tahu dengan itu yang kita tahu hanya datang kesini untuk cari hidup,” kata Yance.

Kompas TV Warga Blokade Akses Menuju Tambang Gunung Botak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com