Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendulang "Emas Coklat" di Teluk Cempi

Kompas.com - 01/04/2015, 17:23 WIB
SUHARTI (30) sibuk menjejalkan rumput laut ke karung di tepi Jalan Lintas Lakey, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Senin (23/3). Kedua anaknya juga ikut membantu mengumpulkan "emas" coklat kehitaman karena kering setelah dijemur seharian itu.

Aktivitas serupa banyak dijumpai saat Kompas melintas di jalan penghubung Kecamatan Hu'u dengan kota Dompu. Rumput laut dikeringkan warga di tepi jalan beraspal mulus. Di beberapa tempat, komoditas ini melebar juga sampai ke bagian aspal jalan.

Dalam beberapa tahun terakhir, rumput laut jenis Sargassum sp atau biasa disebut rumput laut coklat menggeliatkan perekonomian masyarakat di desa-desa di sepanjang garis pantai Kecamatan Hu'u yang berada di bibir Teluk Cempi itu.

Sargassum tumbuh secara alami di dasar teluk di bagian selatan Pulau Sumbawa. Warga pun tidak perlu bersusah payah menanam atau memeliharanya. Makin sering dipanen, pertumbuhan rumput laut itu malah makin masif.

Tak berapa lama, suami Suharti, Munawir (36), datang dengan sepeda motor membawa karung tambahan. Menjelang sore, keluarga itu total mengumpulkan tiga karung besar sargassum, kemudian diangkut ke rumah mereka di Desa Nanga Doro, Kecamatan Hu'u.

"Dalam sehari biasanya dapat 50-100 kg rumput laut kering," kata Munawir. Harga rumput laut coklat di desa itu saat ini Rp 1.000 per kg atau termasuk rendah. Saat harga tinggi, berkisar Rp 2.500-Rp 3.000 per kg.

Meski hanya dihargai Rp 1.000 per kg, jumlah itu dirasakan Munawir sudah jauh lebih baik ketimbang penghasilannya dulu sebagai pengumpul kayu bakar. Dengan hasil rumput laut 50-100 kg per hari, dia bisa mengantongi pendapatan Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. "Waktu mengumpulkan kayu bakar, hasilnya hanya Rp 10.000-Rp 20.000 per hari," ujarnya.

Menyelam

Setiap pagi Munawir ke pantai mengumpulkan rumput laut bersama Suharti. Ia lalu berenang menuju tempat yang tak jauh dari tepi pantai untuk menyelam hingga kedalaman 10 meter. Bekalnya hanya kacamata selam dan napas panjang untuk mencabuti rumput laut coklat yang hidup menempel di karang-karang di dasar laut.

Rumput laut itu dimasukkan ke karung yang telah diikatkan dengan tali di pinggangnya. Di pantai, sang istri yang menunggu bertugas menarik karung itu ke daratan saat isinya sudah penuh. Sargassum juga menjadi sandaran baru perekonomian warga di Desa Hu'u, ibu kota Kecamatan Hu'u. Thayeb (42) adalah salah satu yang menikmati rezeki dari laut itu selama dua tahun terakhir.

Namun, tak seperti Munawir yang menyelam secara manual, Thayeb bekerja dalam kelompok beranggotakan 3-4 orang dengan memakai perahu motor dan alat selam kompresor. Lokasi pencariannya pun sekitar 3 kilometer dari tepi pantai desa.

Karena bekerja berkelompok dan memakai bantuan alat selam, Thayeb bisa memperoleh hasil lebih banyak, minimal 500 kg rumput laut kering per hari. Dengan harga saat ini Rp 1.300 per kg di Desa Hu'u, Thayeb dan kelompoknya bisa meraup pendapatan sedikitnya Rp 650.000 per hari.

Jika dihitung, penghasilan bersih kelompok Thayeb mencapai Rp 18,5 juta per bulan setelah dikurangi rupa-rupa ongkos Rp 1 juta. Itu berarti, setiap anggota kelompok bisa mengantongi uang minimal Rp 4,6 juta per bulan. Jumlah itu bisa berlipat ganda saat harga rumput laut coklat mencapai puncaknya pada musim kemarau.

Khaeruddin (40), pengepul dan juragan rumput laut di Hu'u, mengatakan, dalam 10 hari pengambilan rumput laut, ia bisa memenuhi 15-25 truk bermuatan 5 ton rumput laut per truk. Dari setiap truk, Khaeruddin mendapatkan keuntungan Rp 500.000 sehingga membuatnya bisa menangguk laba Rp 7,5 juta-Rp 12,5 juta.

Sebenarnya, warga sudah sejak lama tahu tentang kekayaan sargassum di Teluk Cempi. Namun, selama ini komoditas yang menjadi bahan baku industri farmasi dan kosmetik itu tak pernah dilirik.

Geliat rumput laut di Hu'u dimulai lima tahun lalu. Saat itu, ada pengusaha dari Surabaya, Jawa Timur, yang minta dicarikan rumput laut dengan harga Rp 500 per kg.

Khaeruddin pun mengajak warga yang menganggur untuk mencari rumput laut. Hasil yang banyak membuat makin banyak pula pembeli dan terus mengerek harga. Jumlah warga yang terjun ke usaha rumput laut pun terus bertambah.

Apalagi, produksi rumput laut di Teluk Cempi seakan tak pernah habis. "Saat satu cabang dicabut, dalam waktu sekitar satu minggu tumbuh 10 cabang baru," katanya.

Rezeki baru dari rumput laut itu pun mendongkrak kesejahteraan warga. Di Desa Hu'u kini marak pembangunan rumah baru. Sebelum ada rumput laut, rumah warga kebanyakan berbentuk panggung. "Sekarang sudah banyak yang berganti menjadi rumah bata, termasuk rumah saya," ujar Thayeb. Ia pun sudah memiliki sebuah mobil minivan dan menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Rumput laut termasuk salah satu komoditas andalan NTB. Total produksi pada 2014 mencapai 779.000 ton.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Aminollah mengatakan, pada 2015, Pemprov NTB menganggarkan Rp 1,3 miliar untuk pembangunan pabrik pengolahan rumput laut. Pabrik itu diproyeksikan mampu menyerap 10 ton rumput laut basah per hari.

"Rumput laut kini banyak dipakai sebagai bahan kosmetik. Saat ini kebanyakan rumput laut NTB diserap pedagang dari Surabaya, diteruskan ke Tiongkok. Semua produksi rumput laut NTB terserap habis oleh pasar. Hal ini menunjukkan pasar rumput laut tersedia dan cukup besar. Kami termasuk tujuh provinsi penghasil rumput laut di Indonesia," ujar Aminollah.

Wilayah NTB yang memiliki garis pantai panjang dan banyak teluk cocok bagi pengembangan rumput laut. "Rumput laut bisa mengikis kemiskinan jika dikelola secara sungguh-sungguh," ungkapnya. (IKA/REK/RUL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com