Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pewarna Alami Ditinggalkan, Perajin Ulos ”Asli” Kian Terpinggirkan

Kompas.com - 23/02/2015, 17:41 WIB

TARUTUNG, KOMPAS.com — Maraknya produk kain ulos pabrikan dengan pewarna bahan kimia di sejumlah daerah di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, kian meminggirkan perajin ulos asli, yang masih mempertahankan pewarna alami.

Selain dapat menurunkan kualitas kain ulos, pewarnaan dengan bahan kimia dapat mencemarkan lingkungan. Sisa pewarnaan benang dengan bahan kimia itu menjadi salah satu penyumbang pencemaran di Danau Toba.

Penelusuran Kompas hingga Minggu (22/2/2015) di sejumlah sentra kerajinan ulos di Kabupaten Samosir, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara memperlihatkan, sebagian perajin mulai beralih ke pewarna kimia sejak sekitar 10 tahun lalu. Bahkan, ada sejumlah kain ulos dengan corak hasil sablon. Selain itu, mereka juga tidak lagi menggunakan alat pintal manual seperti pembuatan ulos asli sebelumnya.

St Sitompul (49), perajin ulos di Desa Sitompul, Kecamatan Siatas Barita, Tapanuli Utara, menuturkan, perajin kain tenun ulos khas Batak saat ini jarang menggunakan zat pewarna alami. Selain alasan kepraktisan, saat ini semakin sulit mendapatkan benang dari hasil pewarnaan bahan alami itu.

”Selain itu, berbagai bahan pewarna alami yang dahulu biasa digunakan mewarnai benang untuk menenun kain ulos sekarang semakin sulit diperoleh pula,“ katanya.

Jason Simbolon (55), perajin ulos di Desa Lumbang Suhi-suhi, Kecamatan Pangururan, Samosir, menambahkan, zaman dahulu untuk menyelesaikan pengerjaan kain tenun ulos, perajin menggunakan benang dengan bahan pewarna yang sumbernya berasal dari sejumlah tumbuhan perdu serta bahan lainnya, seperti kayu jabi-jabi dan kayu sona. Selain itu, untuk bahan pewarna hitam dan merah, biasanya mereka peroleh dari tanaman itom dan salaon (indigo) yang menghasilkan warna-warna dominan dari kain tenun ikat Batak, yakni merah, hitam, dan putih.

”Tumbuh-tumbuhan itu dulu banyak ditemukan di lahan milik masyarakat sepanjang pinggiran Danau Toba. Namun, sekarang tumbuhan itu hampir tak bisa didapatkan lagi sehingga perajin beralih menggunakan benang dengan bahan pewarna kimia,” ujarnya.

Pembuatan satu lembar kain ulos dengan cara tradisional biasanya memakan waktu sebulan. Adapun jika dengan mesin, ulos bisa selesai dalam hitungan jam. Namun, harga kain ulos dengan pewarna alami bisa mencapai Rp 5 juta per lembar. Kain ulos dengan pewarna kimia hanya dihargai antara Rp 50.000-Rp 300.000 setiap lembar.

Ramah lingkungan

Selain itu, pembuatan ulos dengan pewarna alami tergolong produk ramah lingkungan. Maroker Siregar (63), petenun ulos di Desa Huta Nagondang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, yang masih mempertahankan pewarna alami untuk benang kain ulosnya, mengatakan, ulos hasil produksi pewarna kimia turut mengakibatkan air Danau Toba tercemar. Sisa pewarnaan benang biasanya langsung dibuang perajin atau industri kecil ulos ke danau tanpa pengolahan.

”Banyak wisatawan yang berenang di dekat perairan yang berdekatan dengan rumah pembuatan ulos mengaku gatal-gatal,” ucap perempuan yang menenun sejak usia 15 tahun itu.

Selain itu, lanjut Ishak Aritonang (23), pegiat promosi ulos dengan pewarna alami dari Desa Huta Nagondang, sangat sedikit generasi muda yang mewarisi tata cara pembuatan ulos. Dia berharap teknik menenun ulos kembali diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah di sekitar Danau Toba.

Tokoh masyarakat Tapanuli Utara, RE Nainggolan, mengakui, harga ulos yang menggunakan bahan alami relatif mahal dan kurang laku di pasaran serta kalah bersaing dengan kain ulos hasil tenunan mesin. Namun, harus diingat, pembuatan tenun ulos dengan pewarna alami bisa jadi salah satu daya tarik wisata.

Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan mengatakan, selain melestarikan khazanah budaya Batak, dalam konteks wisata, kain ulos tradisional jauh lebih menarik. Untuk itu, pemerintah kabupaten setempat akan memberikan pendampingan bagi kelompok petenun pewarna alam.

”Nanti kreasinya dapat mendukung pariwisata Danau Toba yang saat ini didaftarkan dalam jaringan Taman Bumi Global UNESCO,” paparnya lagi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com