Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berlomba dengan Bocah di Sungai Pedalaman Hutan Kalimantan

Kompas.com - 03/12/2014, 17:12 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

MALINAU, KOMPAS.com - Selama dua pekan, mulai 30 November 2014, tim dari Kompas.com --reporter Fabian Januarius Kuwado serta fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo--menjelajahi pedalaman Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Selaksa kisah terpotret dari perjalanan mengikuti kegiatan blusukan Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan. Secara berseri, Kompas.com menurunkan catatan perjalanan tersebut, termasuk cerita tentang salah satu petang kami di sana, Selasa (2/12/2014).

Lelah menyelimuti rombongan Bupati Malinau pada sore itu. Maklum, dari Selasa pagi hingga siang, rombongan terus blusukan ke sejumlah desa di pedalaman Malinau. Pada petang itu, rombongan kami singgah di Desa Data Baru, Kecamatan Sungai Boh, Malinau.

Kami dan beberapa wartawan lokal pun berbincang santai dengan Yansen di salah satu teras rumah kayu warga. Di tengah obrolan, seorang warga yang adalah teman lama Yansen mengajak sang bupati melihat pembangkit listrik tenaga air di Sungai Aro.

Perbincangan kami pun usai, berganti dengan semangat untuk segera melihat sungai yang semoga saja berbeda dengan gambaran sungai di Jakarta. Tidak sampai lima menit, kami sudah berada di atas mobil four wheel drive double cabin untuk menuju ke lokasi yang dimaksud.

Yansen dan stafnya memilih duduk di dalam kabin, sementara kami duduk di bak terbuka mobil ditu. "Enakan memang di sini," ujar Ipung, wartawan Tribun Kaltim sembari duduk di pinggir bak mobil. Sepuluh menit perjalanan, sungai yang dituju ada di depan mata, dan kami terpesona.

Ayo mandi di sungai

Berlebar sekitar 10 meter, Sungai Aro punya air jernih. Bening tapi terlihat nuansa hijau. Bupati bilang, itu karena aa lumut di dasar sungai.

Sungai ini diapit hutan menghijau. Beragam jenis pohon terlihat menjulang. Ada karet tapi juga ada jati. Nyanyian burung menjadi backsound tiada henti.

Kami ada di tempat sungai itu dibendung. Aliran air terbelah jadi dua di sini. Sebagian air tetap mengalir di jalur sungai, sebagian yang lain berbelok dulu ke turbin yang menjadi pembangkit listrik bagi warga. Di bendungan ini, sebuah kolam pun terbentuk.

Niat semula, bupati memang hanya memenuhi ajakan melihat pembangkit air tenaga mikrohidro itu. "Nih, kalau desa perbatasan Indonesia mau maju, harusnya bikin yang kayak begini dulu sebagai fondasi," ujar Yansen sembari berjalan di bibir pipa air yang mengarah ke turbin.

Namun, lama-lama pembicaraan mulai berbelok. Dari obrolan soal pembangunan desa dengan pemenuhan kebutuhan dasar semacam listrik itu, ujung-ujungnya adalah saling menantang untuk menyicipi segarnya mandi di sungai.

Tak dinyata, Yansen menjadi yang pertama membuka baju dan berganti celana. Kami, mula-mula hanya melihatnya, antara takjub dan mau melihat dulu apa yang mau diperbuat sang bupati. "Byur!" meningkahi cipratan air begitu badan Yansen memasuki air yang kehijauan. "Wah, bupati beneran mau mandi di sini toh," ujar Kristianto.

Semula, kami memang menahan diri "jaim" tak masuk ke air dengan pertimbangan kondisi sungai yang terlihat masih liar sekalipun ada pembangkit listrik di dekatnya. Namun, begitu melihat bupati saja "cuek-bebek" mandi di sungai ini, tanpa pikir dua tiga kali lagi, baju kami pun menyusul beterbangan.

Fikria Hidayat menjadi orang pertama dari rombongan peliput yang menyusul jejak Yansen. Saya tak ketinggalan, tentu saja. "Dingin!" teriak otak saya begitu badan bersentuhan dengan air. Refleks, badan pun bergerak lebih banyak untuk membuat badan tetap hangat meski tubuh basah.

Meski demikian, bayangan ada binatang buas ikut berenang bersama kami tak sepenuhnya hilang dari pikiran. Hanya melihat bupati begitu bebas menyelam hingga ke dasar sungai, yang sedikit menepis kekhawatiran kami. Akhirnya, nekat sajalah...

Berlomba dengan para bocah

Di tengah asyiknya kami berempat main air, anak-anak kecil penduduk setempat datang menghampiri kami. Melihat kami begitu riang seperti tak pernah berenang sebelumnya, anak-anak itu menatap dengan aneh. Jumlah "penonton" pun terus bertambah, baik anak laki-laki maupun perempuan.

"Ayo turun juga," ajak sang bupati sembari melamabaikan tangan kepada kerumunan bocah itu. Lambaian itu tak langsung dituruti. Semula para bocah hanya malu-malu berlarian di tepi sungai, berkejaran di antara pepohonan.

Sampai, "Byur!" seorang bocah lelaki berbadan gempal terpeleset dari jembatan dan langsung jatuh di tengah sungai. Tawa lepas pun sontak keluar dari para bocah. Lalu, tak perlu lambaian tangan lagi, satu per satu anak-anak ini menceburkan diri ke sungai.

Begitu berada di dalam air, bocah-bocah alam ini pun langsung unjuk beragam gaya. Dari gaya "normatif" ala perenang kompetisi, salto sebelum menyeburkan diri di air, hingga gaya batu--terjun langsung "tenggelam"--mereka perlihatkan.

Kami pun tak henti tertawa setiap kali ada bocah bertingkah. Suara kami menggantikan nyanyian burung yang rasanya sudah hilang sekarang. Bupati pun mengeluarkan ide membuat permainan. Anak-anak dan kami--termasuk saya--berdiri di jembatan dari pohon kelapa.

Dengan aba-aba bupati, kami adu berani dan adu gaya melompat ke air. "Satu, dua, tiga....," aba Bupati, berjawab, "Byur!" Berkali-kali kami ulang tanpa bosan, meski saya dan Kris yang berbadan paling besar dalam permainan ini harus susah payah mengangkat badan ke jembatan maupun saat adu lompat ke air...

Bupati kemudian membuat permainan itu jadi lebih serius. Siapa yang melompat paling cepat dengan gaya paling atraktif, akan mendapatkan hadiah darinya. Dengan aba-aba yang tak berbeda, tampang para bocah terlihat lebih bersemangat. Bupati pun buncah dengan senyum. Rp 100.000 menjadi hadiah yang dijanjikannya untuk para bocah.

Petang itu, waktu terasa sesaat berhenti di tengah kedalaman hutan Kalimantan. Lelah, tentu saja, tapi senang. Tak pernah disangka apalagi direncana, kami bisa berenang dengan gembira di lokasi macam ini. Tapi, aduh, makan juga jadi banyak malam ini...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com