Salin Artikel

Cerita Antiarare di Perbatasan Indonesia-Timor Leste: Cari Nafkah di Dua Negara

USAI disahkannya hasil referendum oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999, warga Timor Timur memiliki dua pilihan, menetap atau angkat kaki dari tanah kelahirannya.

Referendum itu menghasilkan kemerdekaan Provinsi Timor Timur, yang kini menjadi Negara Timor Leste. Alhasil, sebagian warga memilih angkat kaki lalu menetap di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Antiarare (39 tahun) dan keluarganya menjadi satu di antara banyak eks pengungsi Timor Timur yang memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dia bersama keluarganya mantap untuk menetap di Kabupaten Belu, NTT.

Kisah ini dibagikan Antiarare kepada saya, Zintan Prihatini, jurnalis Kompas.com dalam liputan khusus Merah Putih di Perbatasan, sebagai korlaborasi Kompas.com dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Saya bertemu Antiarare yang tengah berdiri di jembatan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste di Pos Batas Lintas Negara (PLBN) Motaain, Belu.

Dia bercerita, keluarganya terpaksa meninggalkan kampung halaman ketika Timor Leste memerdekakan diri pada 1999.

"(Saat itu) bapak saya tentara. Saya ikut bapak. Anak, bagaimana pun pasti ikut Bapak," ujar Antiarare di PLBN Motaain, Kamis (16/8/2023).

Masih berusia 15 tahun, ia mengikuti pilihan keluarganya untuk menginjakkan kaki di wilayah Belu. Menurut Antiarare, Indonesia merupakan tempat kelahirannya. Maka ia juga harus tumbuh besar di Tanah Air.

"Saya lahir, buka mata pasti lihat (bendera) merah-putih. Tidak lihat negara lain," kata dia.

Memulai kehidupan lagi dari nol, Antiarare pun banting tulang untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Menarik perhatian saya, saat pria 39 tahun ini mengatakan bahwa dia bekerja di dua negara. Ya, Antiarare mencari nafkah di Indonesia dan Timor Leste.

"Saya di Timor Leste juga kerja. Saya di sini juga kerja, sama saja. Di Timor Leste (saya jadi) nelayan menangkap ikan, udang. Di sini (PLBN Motaain) menjadi porter, bantu angkat barang," tutur dia.

Dalam sehari, lanjut Antiarare, penghasilannya tak menentu. Baginya yang terpenting adalah bisa mengisi perut untuk istri dan dua anaknya di rumah.

"Pagi datang ke sini (PLBN Motaain) untuk jadi porter. Berlayar setiap sore. Pagi di Indonesia, sore berlayar (dari Timor Leste)," ungkap Antiarare.

Antiarare mengaku, selama ini belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Oleh sebab itu, dia berharap bisa mendapat perahu untuk berlayar.

"Ada harapan, minta perahu nelayan dengan pukat saja karena perahu (saya) juga sudah rusak," tutur dia.

Antiarare berkata, sebagian anggota keluarganya ada yang berpindah ke Timor Leste. Kakek, kakak, serta adiknya kini tinggal di negara tetangga.

Meski begitu, Antiarare dan keluarganya sering bertemu lantaran jarak antara Motaain dan Timor Leste tak begitu jauh.

"(Ke Timor Leste) pakai paspor langsung. Keluarga dari Timor Leste bisa tidur satu-dua malam lalu pulang. Saya juga sering main-main ke Timor Leste," ucap Antiarare.

Untuk diketahui, Warga Negara Indonesia (WNI) atau warga negara Timor Leste dapat melintasi perbatasan dua negara melalui PLBN Motaain.

Garis kuning yang dicat di atas sebuah jembatan menjadi penanda perbatasan Indonesia dengan Timor Leste.

Ikuti terus catatan dan kisah perjalanan saya di PLBN Motaain, dalam liputan khusus Merah Putih di Perbatasan.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/19/210727678/cerita-antiarare-di-perbatasan-indonesia-timor-leste-cari-nafkah-di-dua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke