Salin Artikel

Kisah Sanusi Mak Comblang Blitar, Buka Biro Jodoh di Tengah Maraknya Aplikasi Kencan Digital

BLITAR, KOMPAS.com - Sebelum membuka biro jodoh di rumahnya yang terletak sekitar 13 kilometer arah timur laut Kota Blitar, Sanusi sudah dikenal sebagai "mak comblang".

Laki-laki berusia 79 tahun itu sudah puluhan tahun membantu perjodohan orang dari berbagai wilayah di Blitar, terutama di lingkup Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kebiasaan menjodohkan orang itu menjadi semacam profesi sampingan yang memang diakui keberadaannya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa termasuk masyarakat Blitar.

Lewat keahlian itu, mak comblang seperti Sanusi mendapatkan tempat khusus di masyarakat selain keuntungan ekonomi.

Namun, kemampuan menjodohkan orang dia dapatkan dari proses panjang, mulai dari pengalamannya bertahun-tahun merantau ke berbagai daerah hingga Sumatera dan Kalimantan, hingga bekerja sebagai tukang batu (tukang bangunan) dan tukang ojek di pasar Kutukan, pasar tradisional sekitar 500 meter dari rumahnya di Desa Sidodadi.

Ketika bekerja sebagai tukang bangunan, Sanusi berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain bergantung pada rumah yang direnovasi atau dibangun.

Tapi, Sanusi mulai banyak menjodohkan orang ketika bekerja sebagai tukang ojek. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, Sanusi akan terlibat obrolan dengan penumpangnya.

"Biasanya, penumpang saya mengeluh anak perawannya kok belum dapat jodoh," tutur Sanusi saat ditemui Kompas.com, Sabtu (14/11/2021).

Selain keramahan dan kesupelannya dalam bergaul, kakek dengan satu cucu yang hanya mengenyam pendidikan pondok pesantren tradisional itu juga dikenal memiliki amalan-amalan yang akan diberikan kepada orang yang sedang mencari jodoh.

Amalan-amalan itu, antara lain, berupa membaca sejumlah ayat Al-Quran usai shalat malam. 

Menjalani profesi sampingan sebagai dukun perjodohan bukan tanpa resiko.

Sanusi pernah diusir dari rumah oleh istrinya sendiri yang cemburu karena sering membawa perempuan dengan sepeda motor dan melintas di depan rumahnya.

Padahal, kata Sanusi, kadang mereka adalah penumpang biasa dan kadang kliennya yang hendak dia pertemukan dengan pria dalam upayanya membantu perjodohan.

Baru tiga bulan buka

Namun, zaman berubah, dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang tak dipahami betul oleh Sanusi yang buta huruf, dengan cepat meluruhkan perannya sebagai mak comblang.

Kini orang dapat dengan mudah mencari jodoh, mendapatkan teman kencan atau sekadar menambah teman melalui banyak aplikasi khusus dan platform.

Meski tidak paham bagaimana persisnya teknologi itu bekerja, Sanusi merasakan langsung dampaknya.

Dia mengaku sejak beberapa tahun terakhir dirinya mulai jarang mendapatkan "order" perjodohan.

"Katanya orang sekarang bisa cari jodoh lewat HP," ujar Sanusi.

Situasi bagi Sanusi yang ditinggal mati istrinya sekitar 3 tahun lalu itu menjadi lebih rumit setelah sepeda motor seken miliknya ditarik pihak toko yang memberinya kredit lantaran dirinya menunggak angsuran beberapa bulan.

Tanpa sepeda motor, potensi pendapatan Sanusi dari mengojek dan peluang jasa perjodohan terancam terutup.

"Sebenarnya sepeda motor mau saya lunasi dengan menjual beberapa pohon kayu keras di pekarangan, tapi keduluan menantu saya," tuturnya sembari mengeluhkan suami dari anak perempuan semata wayangnya yang tidak memiliki penghasilan tetap.

Dua tahun lalu, anak perempuannya itu memutuskan pergi ke Hongkong untuk bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga.


Di tengah situasi yang sulit itulah, dua atau tiga bulan lalu, Sanusi membulatkan tekad membuka biro jodoh di rumahnya yang kini ia tinggali seorang diri.

Sanusi memesan banner ukuran 1x1,5 meter dengan tulisan besar warna merah "Biro Jodoh".

Tanpa telepon pintar di tangannya, dia mulai menjajakan jasa perjodohan dengan cara lama.

Klien datang membayar Rp 100.000, menyerahkan cetakan foto berwarna, foto kopi KTP, dan nomor telepon.

Foto-foto itu akan ditunjukkan kepada klien-klien berikutnya yang mungkin tertarik pada klien-klien Sanusi yang telah datang lebih dulu.

Selama sekitar dua bulan terakhir, Sanusi mengaku sudah berhasil menjodohkan 5 pasangan.

Kini di rumahnya, tersisa 7 foto dan nama yang belum mendapatkan jodoh, 5 laki-laki dan dua perempuan.

"Satu perawan usia 38 tahun, kerja di Hongkong dan sudah waktunya pulang. Satu lagi janda cantik 31 tahun punya satu anak, usaha salon, punya rumah dan mobil," ujarnya tentang dua klien perempuannya.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/14/111209478/kisah-sanusi-mak-comblang-blitar-buka-biro-jodoh-di-tengah-maraknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke