Salin Artikel

Ketika Tradisi Berladang Suku Dayak Dituding Picu Karhutla

Mereka gotong royong menanam benih padi dari satu ladang ke ladang lain, secara bergantian.

Laki-laki bertugas membuat lubang dari kayu runcing ditancapkan ke lahan, sementara perempuan menyusul dengan menanam atau mengisi benih padi ke dalam lubang itu dan menutup.

"Kerja keroyokan ini, jadi tradisi kami setiap kali musim Nugal,” ungkap Isminah (36), peladang perempuan dari Kampung Ongko Asa, ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (30/8/2021).

Ibu dua anak ini bilang, pola kerja seperti ini dalam masyarakat Dayak Tunjung bukan hanya saat Nugal, saat bakar ladang pun begitu.

Isminah dan suaminya, Rumadio (38) mengolah satu ladang seluas satu hektar dengan status ladang tetap.

Ladang tetap, kata Isminah lebih mudah dibersihkan, rumput-rumput tidak banyak karena tiap tahun ada kegiatan bercocok tanam.

Selain lebih susah karena hutan belukar, juga karena tradisi turun temurun.

Ketika membakar ladang pun, gotong royong. Orang sekampungan turun menjaga biar api tidak menjalar.

"Dulu ada ritualnya sebelum buka ladang baru, sekarang jarang sudah," terang dia.

Cara mengantisipasi biar api tidak menjalar ke hutan, kata Isminah, biasa dibuat sekat atau batas dengan membersihkan pinggiran ladang hingga mempersiapkan alat semprot tradisional, pemukul api, dan lain-lain.

"Saat dibakar semua jaga dari pinggiran (ladang) keliling. Caranya bakar dari pinggir, keliling sampai ke tengah sambil memperhatikan arah angin. Jadi tidak sembarangan," tegas dia.

Proses itu berlangsung sejak dahulu. Karenanya, sebagai peladang yang sejak lahir dan besar di kampung ini dengan mayoritas suku Dayak Tunjung ini, yakin betul tradisi bakar ladang masyarakat adat jarang memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena diawasi ketat oleh masyarakat.

Meski begitu, Dinas Kehutanan Kaltim maupun Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kaltim menyebut masyarakat buka ladang dengan cara membakar penyebab utama karhutla.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada 2019, total luasan karhutla di Kaltim mencapai 68,524 hektar. Jumlah ini terbesar selama selama enam tahun terakhir.

Sebelumnya pada 2016 total luas lahan dan hutan terbakar di Kaltim sebanyak 43.136,78 hektar.

Pada 2017 sempat menurun menjadi 676,38 hektar. Namun, 2018 naik lagi jadi 27.893,20 hektar hingga tertinggi pada 2019.

Meski begitu, dua tahun terakhir cenderung turun. Data KLHK, selama 2020 luas karhutla Kaltim hanya 5.221,00 hektar. Sampai Agustus tahun ini hanya 414,00 hektar.

Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah menyebutkan faktor utama pemicu karhutla di Kaltim yakni pembukaan ladang oleh masyarakat dengan membakar.

"Buka ladang itu loh. Masyarakat membakar, kemudian berpindah-pindah. Ini faktor utama (pemicu)," ungkap Amrullah saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

Kepala Seksi Pengendali Kerusakan dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Shahar Al Haqq menambahkan, faktor pembukaan ladang dengan membakar oleh masyarakat menyumbang sekitar 90-an persen.

"Pelaku ya masyarakat, petani yang buka kebun, tapi tidak semua," kata dia.

Selain petani, kata Shahar faktor lain akibat kelalaian membuang puntung rokok sembarang atau pun sisa api unggun serta faktor alam.

Ditreskrimsus Polda Kaltim melaporkan sebanyak 12 pelaku diproses hukum karena kasus karhutla sejak 2019 sampai Agustus 2021.

Dari jumlah pelaku tersebut, semuanya perorangan, tidak ada koorporasi.


Alasan membakar

Selain Isminah, peladang lain dari Kampung Ongko Asa, Fransiskus Suseno (32) juga tidak sepakat, petani atau peladang yang bakar ladang dituding pemicu utama karhutla.

Menurut dia, masyarakat adat punya cara sendiri membakar dan melindungi hutan.

"Kalau ditanya kenapa kami pakai bakar, selain karena tradisi, juga biar ladang bersih. Saat Nugal kondisi ladang harus bersih, biar tanam ke lubang bisa kelihatan," ungkap pria dengan sapaan Acam ini saat dihubungi Kompas.com.

Acam meminta, dinas atau pun pihak terkait bisa menyaksikan proses pembakaran ladang di lokasi, biar tudingan terhadap masyarakat buka ladang, bisa diluruskan.

"Beberapa kali saya temukan di wilayah sini, titik api justru muncul dari wilayah izin perusahaan, bukan ladang masyarakat," sebut dia.

Sekretaris Adat Dayak Modang di Kabupaten Kutai Timur, Beng Lui menjelaskan tahapan buka ladang sampai tanam padi merupakan serangkaian tradisi yang sudah dijalankan turun temurun termasuk cara membakar.

Dari rangkaian itu ada pelaksanaan ritual adat dan kepercayaan yang menjadi kearifan lokal masyarakat adat di Kaltim termasuk suku Dayak Modang.

"Sampai sekarang kami masih menyakini padi sebagai nyawa layaknya manusia. Makanya ritual tanam padi ini, ada tarian Hudoq yang dipercayai memanggil roh baik untuk kesuburan tanah dan padi," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

"Jadi itu (bakar ladang) hanya versi pemerintah. Mereka enggak pernah lihat ke lapangan," sambungnya.

Beng Lui khawatir, bahwa tudingan bakar ladang disebut pemicu utama karhutla, bisa bikin masyarakat meninggalkan tradisi berladang. Karena, takut terjerat hukum.

Selain itu, kata dia, tudingan itu akan membuka ruang penegak hukum akan menyasar masyarakat adat karena disebut aktor dominan picu karhutla.

"Padahal perusahaan pernah diawasi enggak? Saya lihat sekarang ada modus baru. Perusahaan bagi bibit ke masyarakat, kemudian masyarakat menebas buka kebun, pasti ujung-ujung dibakar. Tapi tetap masyarakat juga yang jadi kambing hitam setelahnya jika ada masalah, padahal perusahaan biang kerok," jelas dia.


Nilai kearifan lokal

Aktivis Lingkungan Kaltim, Akhmad Wijaya menjelaskan, masyarakat Dayak punya metodelogi dan kearifan lokal dalam membakar lahan.

Dayak Kenyah, misalnya, kepala adat kepala akan menentukan waktu dimulai bakar dengan melihat posisi matahari.

"Ada kayu disimpan di tengah kampung atau rumah panjang, sebagai penentu waktu. Sampai menurut kepala adat boleh, baru dibakar," ungkap Wijaya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (29/8/2021).

Berbeda dengan, Dayak Bahau dan Dayak Benua. Metodologis membakar ladang kedua suku ini, kata dia menggunakan petunjuk arah angin.

Mereka menggantung tempayang depan rumah, dengan coretan arang hitam. Gantungan itu sekaligus pertanda ada warga sedang bakar ladang.

"Jadi cukup mudah identifikasi. Begitu ada kebakaran, semua orang langsung tahu di ladang siapa terbakar. Bagi saya ini cara peringatan dini versi mereka," tuturnya.

Selain itu, kearifan lokal dengan menggantung tempayang juga memercayai saat pembakaran ladang, bakal dijaga dewa-dewa, supaya api bagus, dan lain-lain.

Cara lain, Dayak Benua sebelum bakar, masyarakat menyiapkan alat semprot dari bambu.

"Mereka juga menyiapkan alat pemukul api," terangnya.

Di samping itu, pilihan membakar juga dianggap mengurangi hama, menetralisir kadar asam tanah di Kaltim yang rata-rata memiliki yang pH rendah, di bawah 5, dan memperlambat tumbuh gulma.

Hanya saja, Wijaya bilang belakangan ini tradisi kearifan lokal yang berlangsung turun temurun itu, mulai memudar seiring perkembangan zaman.

Misalnya, dia menemukan motivasi orang berladang yang sebelumnya murni kebutuhan pangan, kini berubah orientasi yang cenderung hanya ganti rugi ketika masuk perusahaan.

"Jadi sekarang ini, banyak juga yang mengikuti metodologi membakarnya, tapi meninggalkan kearifan lokalnya," terang dia.

Peladang di Kampung Ongko Asa, Fransiskus Suseno bilang salah satu faktor masyarakat meninggalkan kearifan lokal seperti ritual-ritual adalah agama.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/31/112144678/ketika-tradisi-berladang-suku-dayak-dituding-picu-karhutla

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke