Dari luar ruangan, terdengar seorang guru pria, Yusra (51), bercerita tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Dengan penuh welas asih, dia menceritakan kepada para siswa kelas II tentang seorang perempuan asal Bengkulu, yakni Fatmawati Soekarno, yang menjahit bendera Merah Putih yang dikibarkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan di Jakarta.
Layaknya anak-anak, para murid yang berasal dari keluarga nelayan itu mendengar cerita Yusra menimpali dengan teriakan-teriakan, tetapi kesabaran terpancar dari wajah Yusra.
Sementara itu, di ruang kelas I, seorang guru perempuan bernama Indo Ati (31) memberikan pelajaran mengenal hari kepada para murid. Sesekali dia menghampiri murid yang memanggilnya karena butuh bantuan bagaimana cara memegang pensil atau menghapus tulisan yang salah di kertas.
"Saya guru diperbantukan dari SD 83, status saya memang PNS, sudah enam bulan saya mengajar di sini, sementara yang pertama mengajar dan mengasuh murid di sini adalah ibu Indo Ati, ia guru honor dan dedikasinya luar biasa," kata Yusra saat dijumpai saat jam istirahat belajar.
Indo Ati merupakan guru pertama yang mengajar di sekolah itu berstatus sebagai honorer dengan gaji Rp 350.000 per bulan atau setara dengan 1,5 liter bensin per hari.
"Namun, bukan gajinya yang saya kejar di sini, kami di sini adalah nelayan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi terletak di pinggiran Kota Bengkulu. Saat SD ini selesai dibangun dua tahun lalu, tak ada guru yang mengajar. Lalu saya ditawari Pak RW dan saya mau dengan gaji seadanya. Bagi saya, pendidikan anak nelayan di sini cukup penting," ungkap Indo Ati.
Dia menyebutkan bahwa terdapat total 49 murid di sekolah itu. Sebelum ada gedung, para anak nelayan di kampung itu belajar dengan menumpang di sebuah SMK, lalu pemerintah mendirikan gedung sekolah yang sekarang mereka pakai. Tak ada meja dan kursi pada awal sekolah dibuka, para murid belajar di lantai selama beberapa lama.
"Saya meminta meja dan kursi bekas di sekolah terdekat. Alhamdulillah sekarang kursi itu bisa dipakai anak-anak," tutur Indo.
Indo Ati menyebutkan, dia memiliki seorang anak berusia dua bulan. Saat mengajar, buah hatinya itu ia titip ke orangtuanya. Sementara suaminya berprofesi sebagai sopir. Senada dengan Indo Ati, meski berstatus sebagai PNS, Yusra mengaku mengajar di SD 104 adalah panggilan tugas. Dia menyadari bahwa jam mengajarnya di sekolah itu tak dihitung sehingga tak bisa digunakan untuk menambah tunjangan profesinya.
"Sekolah ini belum terdaftar, belum memiliki statistik dan masih menginduk. Para siswa satu pun belum ada yang mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Saya enam bulan telah mengajar di sini, memang agak khawatir karena jam mengajar saya tak memenuhi target tunjangan sertifikasi mengajar di sini, apalagi tanggungan saya masih cukup banyak," khawatir Yusra.
Kedua pengabdi ini berharap pemerintah dapat segera memperhatikan nasib pendidikan di kampung mereka, termasuk nasib tenaga pengajar.
"Saya ini cuma tamatan SMA. Saya tahu tak selamanya saya bisa mengajar, tapi biarlah pemerintah mungkin akan mempertimbangkan semuanya. Yang penting anak nelayan di sini dapat pendidikan," tutur Indo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.