KOMPAS.com - Beberapa mahasiswa yang mengaku menjadi korban kasus dugaan perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang di Jerman mulai angkat bicara.
Bayangkan Anda seorang mahasiswa yang baru tiba di sebuah negara di Eropa Barat untuk program magang. Di benak Anda terbayang untuk mendapat pengalaman baru sekaligus belajar.
Tiba-tiba saja pintu flat Anda diketuk jelang tengah malam oleh seseorang yang menyodorkan kontrak kerja dalam bahasa asing – bukan bahasa Inggris – yang Anda sendiri tidak fasih.
Anda diminta tanda tangan malam itu juga dan esoknya, pada pukul 04.00 pagi Anda harus bangun demi mengejar bus perusahaan untuk bekerja di pabrik.
Baca juga: Ramai soal Ferienjob di Jerman, Migrant Care: Eksploitasi Kerja Berkedok Magang Ada sejak 2005
Ingat, dalam konteks ini, Anda adalah anak muda yang diterima magang di luar negeri.
Nita (bukan nama sebenarnya), 22 tahun, salah satu mahasiswi perguruan tinggi di Jawa, menuturkan pengalamannya kepada BBC News Indonesia pada Jumat (22/03).
Dia adalah satu dari 1.047 mahasiswa korban kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengiriman program magang mahasiswa ke negara Jerman melalui program Ferienjob.
Ada 33 universitas di Indonesia yang tergabung dalam program yang disosialisasikan oleh PT CVGEN dan PT SHB.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan kasus TPPO berkedok program magang ini terungkap setelah empat mahasiswa yang tengah mengikuti Ferienjob mendatangi KBRI di Jerman.
Polri sudah menetapkan lima orang tersangka, yakni ER alias EW; A alias AE, SS, AJ dan MJ. Dua dari lima tersangka masih berada di Jerman. Sedangkan seluruh korban sudah berada di Indonesia – termasuk Nita.
“Kami para mahasiswa juga ingin speak up biar pelaku jera.”
Baca juga: Soal Kasus TPPO Magang ke Jerman, Menaker: Bukan Ranah Kami
“Waktu itu dipromosiin working and holiday [bekerja dan berlibur],” tuturnya kepada jurnalis Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Nita mengaku percaya kegiatan Ferienjob karena ada testimoni dari tahun-tahun sebelumnya.
Nita dan teman-temannya diminta membayar Rp150.000 untuk pendaftaran. Setelah itu mereka harus membayar lagi untuk biaya pembuatan paspor, izin kerja, dan keperluan visa.
Secara total, biaya awal yang harus dibayarkan Nita dan rekan-rekannya adalah 550 euro (sekitar Rp9,4 juta) termasuk untuk urusan ZAV (kantor bursa pekerjaan spesialis Jerman) dan biaya ketibaan di Jerman.
Baca juga: Sengsaranya Mahasiswa Korban Magang Ferienjob di Jerman, Pulang Malah Terlilit Utang
Sayangnya, begitu sampai di Jerman, Nita dan teman-temannya kecewa karena haknya sebagai mahasiswa tidak terpenuhi.
Menurutnya, apa yang ia alami dan kerjakan di sana tidak sesuai dengan janji di awal.
Awalnya, Nita dan rekan-rekannya dijanjikan magang di Bandara Munich – tapi ternyata begitu sampai di Jerman, program magang di bandara itu tidak ada di daftar magang Ferienjob.
Mereka pun dipindahkan ke situs kerja lain – sebuah pabrik.
“Itu pun kami enggak langsung dikasih kerja. Kami harus menunggu dulu sekitar enam sampai tujuh hari,” ujarnya.
Nita bercerita beberapa rekannya diminta bekerja di konstruksi pekerjaan meski mereka perempuan dan sebagian lain magang di jasa ekspedisi dan harus mengangkat barang-barang sebesar 30 kilogram.
Baca juga: Menko PMK Minta Prosedur Magang di Luar Negeri Diperbaiki Agar Tak Dianggap TPPO
Ambar tiba di salah satu kota di Jerman pada 2 Oktober 2023 saat tengah malam dan langsung ‘ditodong’ dengan tanda tangan kontrak.