Kondisi baru sampai dan larut malam, membuat Ambar dan rekan-rekannya tidak bisa membaca kontrak dengan seksama.
“[Selain itu] kontrak terkadang hanya tersedia dalam Bahasa Jerman, dan kami tidak diberikan waktu untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia atau Inggris,” tuturnya.
Ambar mengatakan agensi menjanjikan dia dan teman-temannya “bekerja dan belajar” di Jerman – kenyataannya mereka mendapat pekerjaan yang memakan kekuatan fisik yang cukup berat.
“Jenis pekerjaannya pun sama sekali tidak linear dengan jurusan yang kami tempuh,” akunya.
Baca juga: Menko PMK Harap Dugaan TPPO Mahasiswa Magang ke Jerman Berakhir Damai
Ambar mengatakan dirinya dan teman-temannya bekerja selama 10 jam tiap hari dan itu belum termasuk perjalanan mereka dari apartemen ke perusahaan yang memakan waktu dua jam bolak-balik.
“Jadi sehari kami bisa menghabiskan waktu 12 jam hanya untuk bekerja,” lanjutnya.
Pekerjaan fisik yang berat juga suhu musim dingin di Jerman membuat banyak dari teman-teman Ambar gampang sakit, tetapi beberapa dari mereka tidak diperbolehkan cuti saat sakit.
Apartemen – disebut wohnung – tempat Ambar tinggal selama di Jerman pun diisi oleh 20 orang yang dipatok dengan harga mahal dengan fasilitas yang tidak memadai.
Bagi Nita, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.
“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujarnya.
Baca juga: Polri: 3 Tersangka Kasus TPPO Magang ke Jerman Tidak Ditahan
Padahal, pihak kampus sebelumnya meminta Nita dan rekan-rekannya untuk cukup fokus berkegiatan di Jerman dan masalah konversi nilai bisa dibicarakan nanti.
“Kami mahasiswa sudah lelah mau tuntut ini-itu,” ujarnya.
Ambar dan Nita sama-sama enggan menyebut nama universitas ataupun nama kota di Jerman tempat mereka tinggal dan magang.
Menurut Ambar, tempat kota dirinya dan rekan-rekan magang sangat spesifik sehingga membuatnya akan mudah dilacak.
Salah satu yang menjadi persoalan para korban mahasiswa ini adalah soal dana talangan.
Menurut Nita, dana talangan mencapai Rp37 juta termasuk biaya awal dan tiket pulang-pergi. Dia mengatakan pemasukannya selama kerja di Jerman bahkan tidak bisa menutup biaya ini.
“Padahal sosialisasi dari pihak penyelenggara, gaji itu bisa menutup dana talangan. Saya pribadi dan teman-teman saya belum bayar [dana talangan] tapi pihak kampus menyuruh kami untuk segera membayar,” ujarnya.
Nita juga mengecek kabar dari rekan-rekannya di kampus lain – cerita mereka bervariasi.
“Aku enggak bakal nyebut kampus apa, tapi ada kampus yang bilang kalau mahasiswanya tidak membayar dana talang, mahasiswanya enggak boleh masuk kuliah.
"Tapi ada juga kampus yang menahan mahasiswanya untuk jangan membayar sebelum kasus ini selesai,” ujarnya.
Baca juga: Tak Sesuai UU, Migrant Care Imbau Mahasiswa Tidak Magang ke Luar Negeri
Sementara Ambar belakangan mengetahui gaji bersih yang diterimanya yakni sekitar 600-700 euro (sekitar Rp11,9 juta) per bulan adalah jauh di bawah gaji kotornya yaitu 2.000 euro (sekitar Rp34,2 juta).
Ambar mengatakan uangnya akan habis jika harus membayar dana talangan yakni Rp24 juta.
“Saya pribadi masih simpan uangnya kalau-kalau nanti ditagih sama agen. Karena sampai saat ini pihak agensinya tidak kasih kejelasan info, bahkan ada yang tanya pun gak ada respon,” ujarnya.