Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Tertatih di Tengah Abrasi Pesisir Utara Semarang

Kompas.com - 29/02/2024, 05:01 WIB
Sabrina Mutiara Fitri,
Dita Angga Rusiana

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Hari itu, Jumat (16/2/2024), Furochim tidak pergi melaut karena sedang istirahat. Meski tersenyum lebar, mata Furochim tampak sayu. 

Dia bercerita banyak tentang peisir utara Semarang. Kondisi pesisir saar ini kian mengkhawatirkan bagi keluarganya. Banjir rob menerjang rumahnya, hasil tangkapan yang menurun, dan hilangnya tambak di pesisir terus menghantui.

Furochim adalah salah satu nelayan di pesisir utara Jawa, tepatnya di wilayah Semarang. Dia tinggal di wilayah pesisir sejak tahun 1999, tepatnya di RT 06, RW 07, Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.

Tak hanya melaut, dulunya Furochim juga memiliki tambak. Hal tersebut menjadi salah satu upaya untuk menutup ekonomi keluarga jika hasil tangkapan ikan di laut kurang beruntung. Namun, kini sudah hilang akibat abrasi.

Baca juga: Banjir Bandang dan Rob Meluap, 2 Kecamatan di Sumbawa Tergenang

Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam kurun waktu 2001 hingga 2021, Kota Semarang telah mengalami abrasi sekitar 10,31 meter per tahun.

Tak hanya Furochim, warga pesisir di kawasan Mangunharjo, Mangkang Wetan, dan Mangkang Kulon juga terdampak adanya penurunan muka tanah atau land subsidence. Hingga saat ini, banjir rob, abrasi, hingga penurunan permukaan tanah seolah selalu menghantui kehidupan warga.

“Saya sudah tiga kali meninggikan rumah, sejak tahun 1999 tinggal di sini. Dulunya ini kan bekas rawa. Nah kalau meninggikan butuh uang banyak,” ujar dia.

Sebagai seorang nelayan kecil, Furochim tentu dilema dengan keadaan tersebut lantaran pendapatannya belum bisa memperbaiki kondisi rumah.

Belum lagi, dirinya harus berjibaku dengan tingginya biaya melaut, ketertinggalan alat tangkap modern, dan kehilangan ruang wilayah melaut. Artinya, sudah banyak tambak yang hilang akibat aktivitas arus laut, gelombang laut, dan pasang surut air laut.

“Di sini sudah tidak ada tambak yang normal, yang bagus tidak ada. Itu terjadi karena abrasi. Awal mulai abrasi itu ketika ada pembangunan pelabuhan Kendal,” ucap dia.

Parahnya, imbuh Furochim, terdapat sekitar 50 tambak di kawasan Mangkang yang hilang akibat abrasi. Bahkan, dulunya jarak pesisir ke wilayah laut bisa mencapai 3 kilometer. Namun kini hanya tersisa kurang dari 1 kilometer. Hasil ikan tangkapan pun kian menurun hampir 50%.

“Kalau dulu bisa sekali melaut bisa dapat rata-rata Rp 150.000 per hari, sekarang Rp 50.000 atau Rp 40.000. Itu saja kadang-kadang. Ya kalau hasil ikannya beragam, ada ikan sembilang, ikan belanak, kadang ada kepiting,” ucap Furochim.

Ikan tak seberapa, biaya melaut pun kian tinggi

Sejak tahun 2004, Furochim telah memutuskan hidup untuk menjadi seorang nelayan. Dirinya mengaku selama hampir 20 tahun ini telah menelan pahit manis kehidupan sebagai warga pesisir.

Banjir rob yang datang tiap tahun, tanggul jebol, dan hilangnya tambak yang sangat berdampak pada kehidupannya.

Di samping itu, Furochim menyebutkan, penghasilan yang didapat tidaklah sebanding dengan biaya melaut, dan sewa tambak untuk perahu bersandar. Kendati demikian, Furochim tak lantas menyerah dengan keadaan. Dirinya tetap menjalankan hidup dengan mengoptimalkan seluruh usaha.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com