“Kan nelayan penghasilannya tidak mesti. Itu tidak cukup buat beli bensin. Nyewa tambak untuk tempat meletakkan perahu saja biayanya Rp 1 juta per tahunnya. Belum lagi untuk biaya hidup keluarga di rumah,” ungkap Furochim.
Selain itu, ketertinggalan alat tangkap juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi pendapatannya. Pasalnya, kini perkembangan alat tangkap ikan telah merajalela.
Lantaran harganya mahal, Furochim masih bertahan menggunakan jaring untuk menangkap ikan.
“Kalau kita nelayan kecil ya cuma pakai jaring. Sekarang sudah banyak alat-alat canggih. Alat tangkap banyak yang canggih, tapi malah merugikan kita. Kalau kita tidak mengikuti perkembangan, ya tidak kebagian ikan,” tutur Furochim.
Menurut Furochim, selama menjadi nelayan sejak tahun 2004, keadaan paling parah yang dialami para nelayan sepertinya terjadi pada tahun 2023 hingga saat ini. Saking parahnya, Furochim dan nelayan lainnya kesulitan untuk melaut lantaran air yang terus pasang.
“Keadaan paling parah yang dialami nelayan itu mulai dari tahun kemarin. Banjir akibat tanggul jebol, air dari tambak meluap, kita tidak bisa melaut,” ungkap dia.
Furochim tidak putus asa. Bersama sang istri, Firmanti, dia meminjam uang ke bank untuk membangun warung kecil-kecilan. Setidaknya, hasilnya bisa untuk biaya sehari-hari, biaya sekolah anak, dan membayar utang.
“Awalnya, saya kan punya pinjaman bulanan di bank, satu bulan Rp 600.000. Itu buat bikin warung dan biaya sekolah anak. Ya habisnya bisa puluhan juta,” ungkap Firmanti.
Selain membuka warung, Firmanti juga membuat rumpon atau tempat memancing di kawasan Pantai Mangunharjo. Meski tak selalu ramai, dirinya menyebutkan, penghasilan dari rumpon bisa sedikit membantu kebutuhan rumah tangganya.
“Kalau rumpon kadang satu minggu ada satu dua orang yang WA, mau pesan rumpon. Tapi ya nggak mesti. Satu orangnya Rp 50.000,” tutur Firmanti.
Baca juga: Imbas Penurunan Tanah, Pemkot Semarang Larang Mal dan Hotel Gunakan Air Tanah
Firmanti mengaku, penghasilan yang terkumpul dari penjualan warung, rumpon, dan hasil tangkap ikan, dinilai cukup untuk berbagai kebutuhan hidup. Di antaranya biaya sekolah, kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk membayar utang bank.
Dengan demikian, dirinya tak berhenti mengucap syukur lantaran masih bisa bertahan hidup meski harus tertatih-tatih.
“Kalau pendapatannya Bapak (Furochim) saya tabung buat setoran bank. Kalau kebutuhan harian seperti makan, uang saku anak, itu dari warung. Ya alhamdulillah, pokoknya dicukup-cukupin,” ujar dia.
Sama halnya dengan Furochim, Abdul Jamal juga mengalami hal serupa. Warga Mangkang Kulon itu mengaku, rumahnya yang terletak di RT 05 RW 05 Mangkang Wetan hampir tenggelam karena penurunan permukaan tanah yang semakin parah tiap tahunnya.
Jamal mengatakan, penurunan permukaan tanah di kawasan Mangunharjo, Mangkang Wetan, dan Mangkang Kulon itu mulai terjadi sekitar tahun 1980 lantaran masifnya pembangunan industri, dan cacatnya pengeboran air pembangunan.