“Saya pindahan dari RT 05 RW 05 Mangkang Wetan. Kalau dulu masih ada elevasi untuk pondasi, sekarang sudah sama dengan jalan. Karena pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan lingkungan sekitar,” ucap Jamal.
Akibat land subsidence yang terjadi di tempat tinggalnya kawasan Mangkang Wetan, akhirnya Jamal memilih untuk pindah rumah ke kawasan yang lebih aman di daerah Mangkang Kulon, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.
“Makanya saya pindah ke sini, sudah ada satu tahunan. Kami tidak ingin bernasib seperti saudara-saudara kami di Demak, seperti di Timbulsloko, Bedono yang sampai hilang,” ucap Jamal.
Sementara itu, pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila menyebutkan, kawasan 3M (Mangkang Wetan, Mangkang Kulon, dan Mangunharjo) merupakan tiga wilayah terparah yang mengalami abrasi di Kecamatan Tugu, Kota Semarang.
Tentunya, abrasi tersebut disebabkan oleh sejumlah hal. Di antaranya, adanya pembangunan kawasan industri yang masif, aliran arus yang memusat ke timur, dan terkucurnya limbah industri pabrik.
“Karena di sana ada juga kegiatan industri di wilayah 3M. Mungkin arusnya itu yang mengarah ke timur. Sehingga kawasan yang ada di Mangunharjo kemudian tergerus oleh air laut. Itu yang paling parah mengalami abrasi,” ucap Mila.
Mila mengungkapkan, adanya pembangunan yang masif di daerah pesisir seperti Pelabuhan Kendal, Perumahan Marina, dan Kawasan Industri Kendal (KIW), berdampak banyak terhadap kehidupan warga setempat.
Mulai dari kehilangan pekerjaan, adaptasi dengan lingkungan baru, kesehatan, dan perekonomian warga.
“Jadi yang awalnya dulu wilayah pertanian, sekarang berubah jadi pesisir. Yang awalnya daratan tapi kemudian harus berpindah menanggung akibat pembangunan yang tidak ramah terhadap warga. Sehingga kehidupan mereka terganggu dan berubah,” ungkap Mila.
Kepala Dinas Perikanan Kota Semarang, Sih Rianung mengatakan, nasib nelayan kecil di pesisir Kota Semarang, khususnya wilayah Mangkang Wetan, Mangkang Kulon, dan Mangunharojo memang penuh perjuangan.
Pihaknya menyebutkan, kesejahteraan nelayan sangat perlu diperhatikan lantaran seluruh aspek kehidupannya bergantung pada alam.
“Memang, perubahan itu ada karena perubahan musim yang ada. Jadi tempat-tempat yang dulunya tambak, sekarang jadi sulit dibudidaya,” ucap Rianung kepada Kompas.com, Selasa (27/2/2024).
Rianung menyebutkan, musim paceklik menjadi salah satu perubahan musim yang sangat merugikan nelayan. Lantaran modal yang dikeluarkan untuk melaut tidak sebanding dengan hasil yang didapat.
Para nelayan pun beradaptasi dengan pekerjaan lain ataupun membuka usaha sampingan untuk bertahan hidup.
“Karena nelayan itu cari ikan, pas lagi musim ya ramai. Begitu pula sebaliknya, tergantung musimnya. Itu juga menjadi masalah kita. Mereka juga perlu adaptasi, misal jadi kerja di darat,” ucap Rianung.