Salin Artikel

Hidup Tertatih di Tengah Abrasi Pesisir Utara Semarang

Dia bercerita banyak tentang peisir utara Semarang. Kondisi pesisir saar ini kian mengkhawatirkan bagi keluarganya. Banjir rob menerjang rumahnya, hasil tangkapan yang menurun, dan hilangnya tambak di pesisir terus menghantui.

Furochim adalah salah satu nelayan di pesisir utara Jawa, tepatnya di wilayah Semarang. Dia tinggal di wilayah pesisir sejak tahun 1999, tepatnya di RT 06, RW 07, Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.

Tak hanya melaut, dulunya Furochim juga memiliki tambak. Hal tersebut menjadi salah satu upaya untuk menutup ekonomi keluarga jika hasil tangkapan ikan di laut kurang beruntung. Namun, kini sudah hilang akibat abrasi.

Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam kurun waktu 2001 hingga 2021, Kota Semarang telah mengalami abrasi sekitar 10,31 meter per tahun.

Tak hanya Furochim, warga pesisir di kawasan Mangunharjo, Mangkang Wetan, dan Mangkang Kulon juga terdampak adanya penurunan muka tanah atau land subsidence. Hingga saat ini, banjir rob, abrasi, hingga penurunan permukaan tanah seolah selalu menghantui kehidupan warga.

“Saya sudah tiga kali meninggikan rumah, sejak tahun 1999 tinggal di sini. Dulunya ini kan bekas rawa. Nah kalau meninggikan butuh uang banyak,” ujar dia.

Sebagai seorang nelayan kecil, Furochim tentu dilema dengan keadaan tersebut lantaran pendapatannya belum bisa memperbaiki kondisi rumah.

Belum lagi, dirinya harus berjibaku dengan tingginya biaya melaut, ketertinggalan alat tangkap modern, dan kehilangan ruang wilayah melaut. Artinya, sudah banyak tambak yang hilang akibat aktivitas arus laut, gelombang laut, dan pasang surut air laut.

“Di sini sudah tidak ada tambak yang normal, yang bagus tidak ada. Itu terjadi karena abrasi. Awal mulai abrasi itu ketika ada pembangunan pelabuhan Kendal,” ucap dia.

“Kalau dulu bisa sekali melaut bisa dapat rata-rata Rp 150.000 per hari, sekarang Rp 50.000 atau Rp 40.000. Itu saja kadang-kadang. Ya kalau hasil ikannya beragam, ada ikan sembilang, ikan belanak, kadang ada kepiting,” ucap Furochim.

Ikan tak seberapa, biaya melaut pun kian tinggi

Sejak tahun 2004, Furochim telah memutuskan hidup untuk menjadi seorang nelayan. Dirinya mengaku selama hampir 20 tahun ini telah menelan pahit manis kehidupan sebagai warga pesisir.

Banjir rob yang datang tiap tahun, tanggul jebol, dan hilangnya tambak yang sangat berdampak pada kehidupannya.

Di samping itu, Furochim menyebutkan, penghasilan yang didapat tidaklah sebanding dengan biaya melaut, dan sewa tambak untuk perahu bersandar. Kendati demikian, Furochim tak lantas menyerah dengan keadaan. Dirinya tetap menjalankan hidup dengan mengoptimalkan seluruh usaha.

“Kan nelayan penghasilannya tidak mesti. Itu tidak cukup buat beli bensin. Nyewa tambak untuk tempat meletakkan perahu saja biayanya Rp 1 juta per tahunnya. Belum lagi untuk biaya hidup keluarga di rumah,” ungkap Furochim.

Selain itu, ketertinggalan alat tangkap juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi pendapatannya. Pasalnya, kini perkembangan alat tangkap ikan telah merajalela.

Lantaran harganya mahal, Furochim masih bertahan menggunakan jaring untuk menangkap ikan.

“Kalau kita nelayan kecil ya cuma pakai jaring. Sekarang sudah banyak alat-alat canggih. Alat tangkap banyak yang canggih, tapi malah merugikan kita. Kalau kita tidak mengikuti perkembangan, ya tidak kebagian ikan,” tutur Furochim.

Menurut Furochim, selama menjadi nelayan sejak tahun 2004, keadaan paling parah yang dialami para nelayan sepertinya terjadi pada tahun 2023 hingga saat ini. Saking parahnya, Furochim dan nelayan lainnya kesulitan untuk melaut lantaran air yang terus pasang.

“Keadaan paling parah yang dialami nelayan itu mulai dari tahun kemarin. Banjir akibat tanggul jebol, air dari tambak meluap, kita tidak bisa melaut,” ungkap dia.

Putar otak untuk bertahan hidup

Furochim tidak putus asa. Bersama sang istri, Firmanti, dia meminjam uang ke bank untuk membangun warung kecil-kecilan. Setidaknya, hasilnya bisa untuk biaya sehari-hari, biaya sekolah anak, dan membayar utang.

“Awalnya, saya kan punya pinjaman bulanan di bank, satu bulan Rp 600.000. Itu buat bikin warung dan biaya sekolah anak. Ya habisnya bisa puluhan juta,” ungkap Firmanti.

Selain membuka warung, Firmanti juga membuat rumpon atau tempat memancing di kawasan Pantai Mangunharjo. Meski tak selalu ramai, dirinya menyebutkan, penghasilan dari rumpon bisa sedikit membantu kebutuhan rumah tangganya.

“Kalau rumpon kadang satu minggu ada satu dua orang yang WA, mau pesan rumpon. Tapi ya nggak mesti. Satu orangnya Rp 50.000,” tutur Firmanti.

Firmanti mengaku, penghasilan yang terkumpul dari penjualan warung, rumpon, dan hasil tangkap ikan, dinilai cukup untuk berbagai kebutuhan hidup. Di antaranya biaya sekolah, kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk membayar utang bank.

Dengan demikian, dirinya tak berhenti mengucap syukur lantaran masih bisa bertahan hidup meski harus tertatih-tatih.

“Kalau pendapatannya Bapak (Furochim) saya tabung buat setoran bank. Kalau kebutuhan harian seperti makan, uang saku anak, itu dari warung. Ya alhamdulillah, pokoknya dicukup-cukupin,” ujar dia.

Sama halnya dengan Furochim, Abdul Jamal juga mengalami hal serupa. Warga Mangkang Kulon itu mengaku, rumahnya yang terletak di RT 05 RW 05 Mangkang Wetan hampir tenggelam karena penurunan permukaan tanah yang semakin parah tiap tahunnya.

Jamal mengatakan, penurunan permukaan tanah di kawasan Mangunharjo, Mangkang Wetan, dan Mangkang Kulon itu mulai terjadi sekitar tahun 1980 lantaran masifnya pembangunan industri, dan cacatnya pengeboran air pembangunan.

“Saya pindahan dari RT 05 RW 05 Mangkang Wetan. Kalau dulu masih ada elevasi untuk pondasi, sekarang sudah sama dengan jalan. Karena pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan lingkungan sekitar,” ucap Jamal.

Akibat land subsidence yang terjadi di tempat tinggalnya kawasan Mangkang Wetan, akhirnya Jamal memilih untuk pindah rumah ke kawasan yang lebih aman di daerah Mangkang Kulon, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.

“Makanya saya pindah ke sini, sudah ada satu tahunan. Kami tidak ingin bernasib seperti saudara-saudara kami di Demak, seperti di Timbulsloko, Bedono yang sampai hilang,” ucap Jamal.

Pembangunan pesisir yang tak ramah lingkungan

Sementara itu, pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila menyebutkan, kawasan 3M (Mangkang Wetan, Mangkang Kulon, dan Mangunharjo) merupakan tiga wilayah terparah yang mengalami abrasi di Kecamatan Tugu, Kota Semarang.

Tentunya, abrasi tersebut disebabkan oleh sejumlah hal. Di antaranya, adanya pembangunan kawasan industri yang masif, aliran arus yang memusat ke timur, dan terkucurnya limbah industri pabrik.

“Karena di sana ada juga kegiatan industri di wilayah 3M. Mungkin arusnya itu yang mengarah ke timur. Sehingga kawasan yang ada di Mangunharjo kemudian tergerus oleh air laut. Itu yang paling parah mengalami abrasi,” ucap Mila.

Mila mengungkapkan, adanya pembangunan yang masif di daerah pesisir seperti Pelabuhan Kendal, Perumahan Marina, dan Kawasan Industri Kendal (KIW), berdampak banyak terhadap kehidupan warga setempat.

Mulai dari kehilangan pekerjaan, adaptasi dengan lingkungan baru, kesehatan, dan perekonomian warga.

“Jadi yang awalnya dulu wilayah pertanian, sekarang berubah jadi pesisir. Yang awalnya daratan tapi kemudian harus berpindah menanggung akibat pembangunan yang tidak ramah terhadap warga. Sehingga kehidupan mereka terganggu dan berubah,” ungkap Mila.

Soroti kesejahteraan nelayan

Kepala Dinas Perikanan Kota Semarang, Sih Rianung mengatakan, nasib nelayan kecil di pesisir Kota Semarang, khususnya wilayah Mangkang Wetan, Mangkang Kulon, dan Mangunharojo memang penuh perjuangan.

Pihaknya menyebutkan, kesejahteraan nelayan sangat perlu diperhatikan lantaran seluruh aspek kehidupannya bergantung pada alam.

“Memang, perubahan itu ada karena perubahan musim yang ada. Jadi tempat-tempat yang dulunya tambak, sekarang jadi sulit dibudidaya,” ucap Rianung kepada Kompas.com, Selasa (27/2/2024).

Rianung menyebutkan, musim paceklik menjadi salah satu perubahan musim yang sangat merugikan nelayan. Lantaran modal yang dikeluarkan untuk melaut tidak sebanding dengan hasil yang didapat.

Para nelayan pun beradaptasi dengan pekerjaan lain ataupun membuka usaha sampingan  untuk bertahan hidup.

“Karena nelayan itu cari ikan, pas lagi musim ya ramai. Begitu pula sebaliknya, tergantung musimnya. Itu juga menjadi masalah kita. Mereka juga perlu adaptasi, misal jadi kerja di darat,” ucap Rianung.

Saat ini pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung kesejahteraan nelayan pesisir di Kota Semarang. Diantaranya, menyalurkan bantuan sembako, melakukan penanaman mangrove sebagai pencegahan abrasi, hingga membuat sejumlah program yang melibatkan para nelayan.

“Pertama, karena nelayan melaut untuk mencari ikan, kita harus meminimalisir risiko. Sehingga mereka harus mengetahui musim, tidak hanya dengan ilmu titen. Karena musim sekarang sering ekstrem,” imbuh dia.

Rianung berharap, dengan segala upaya yang telah dilakukan itu dapat membangun kesejahteraan para nelayan di pesisir Kota Semarang.

“Intinya, nelayan harus sejahtera. Saya harus akui kalau nelayan memilik makna hidup yang asik. Maka ketika kita hidup di antara alam, maka harus siap bersahabat dengan alam. Karena ketergantungan dengan alam sangat besar,” pungkas dia.

Sementara itu, hingga tulisan ini diterbitkan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang tidak merespon Kompas.com saat dikonfirmasi tentang permasalahan abrasi di kawasan pesisir Kota Semarang.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/29/050100178/hidup-tertatih-di-tengah-abrasi-pesisir-utara-semarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke