KOMPAS.com - Ratusan pengungsi Rohingya yang mendarat di Desa Lapang Barat, Kabupaten Bireuen, Aceh, telah dipindahkan ke penampungan sementara di eks kantor imigrasi di Kota Lhokseumawe pada Selasa (21/11/2023) malam.
Semula, sebanyak 256 pengungsi Rohingya di sana akan ditolak warga kembali ke laut, setelah mereka mendarat pada Minggu (19/11/2023).
"Rencana dari kemarin, sudah sepakat boat [perahu] mereka yang rusak kami perbaiki, kemudian kami bawa kembali pulang ke negeri asalnya," kata Mauliadi, salah seorang kepala desa di Kecamatan Gandapura, kepada wartawan Muhammad di Kabupaten Bireuen yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (21/11/2023).
Baca juga: Rentetan Penolakan Pengungsi Rohingya di Aceh
Sebelum tiba di Desa Lapang Barat, para pengungsi ini telah ditolak berlabuh di wilayah Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen dan Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Saat itu, beberapa warga terekam mengancam untuk memukul mereka.
Selama tiga hari di Desa Lapang Barat, sebagian pengungsi ini beristirahat di ruang terbuka beralas terpal di bawah pohon-pohon. Sisanya menempati bangunan tempat pelelangan ikan.
Sejumlah kalangan menilai mereka ditempatkan di tempat "yang tidak layak".
Rombongan yang didominasi perempuan dan anak-anak sempat memperoleh bantuan warga berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Penjabat Bupati Bireuen Aulia Sofyan, yang ikut serta dalam pemindahan pengungsi ini, menolak berkomentar.
Baca juga: Kontras Minta Pemerintah Segera Tunjuk Tempat Akomodasi Pengungsi Rohingya di Aceh
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil, mengatakan, upaya itu harus dilakukan guna menghindari potensi terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Rangkaian penolakan oleh beberapa kelompok warga terhadap pengungsi Rohingya telah terjadi di Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Utara.
Kepala Desa Lapang Barat di Kabupaten Bireuen, Aceh, Mukhtar Yusuf mengaku bahwa warganya meminta para pengungsi itu untuk segera dipindahkan.
“Kalau hari ini belum juga dipindahkan, mungkin mereka akan diangkut sama-sama oleh warga,” kata Mukhtar di lokasi pengungsi, Senin (20/11/2023).
Baca juga: Pemerintah Indonesia Dinilai Wajib Lindungi Pengungsi Rohingya meski Tak Ratifikasi Konvensi 1951
Selain itu, ratusan pengungsi Rohingya yang lain juga telah berlabuh di wilayah Pidie hingga Aceh Timur.
Terkait hal itu, Plt Asisten Deputi Bidang Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Luar Biasa Kemenko Polhkam, Benny M Saragih, mengatakan, “Pengungsi akan tetap ditangani dengan baik... fasilitas penampungan akan dikoordinasikan di daerah,” katanya dalam pesan singkat.
Sementara itu, pejabat Pemda Bireuen mengatakan belum bisa mengambil kebijakan atas nasib para pengungsi tersebut karena masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat.
Mereka adalah bagian dari 256 orang Rohingya yang tiba di daerah itu sejak Minggu (19/11/2023).
Munzur Alam, 23 tahun, adalah satu dari mereka.
Munzur yang cukup lancar berbahasa Inggris mengatakan, dia dan para pengungsi berada di dalam kapal selama puluhan hari, dengan pasokan makanan dan persediaan lain yang terbatas.
“Kami datang ke sini untuk menyelamatkan nyawa kami… Empat anak kecil meninggal di kapal,” klaim Munzur kepada wartawan Fajar Siddik di Bireuen yang melaporkan kepada BBC News Indonesia, Senin (20/11/2023).
Baca juga: Soal Pengungsi Rohingya di Aceh, Menko PMK: Kita Welcome, tapi Harus Perhatikan Warga
”Jika masyarakat Indonesia mengizinkan kami tinggal di sini, kami akan tinggal di sini. Jika mereka tidak mengizinkan maka Allah akan menunjukkan jalan lain untuk kami,” katanya.
Munzur juga mengatakan bahwa mereka telah menerima bantuan kebutuhan dasar, “Tapi kami tidak dapat shelter sekarang, kami butuh tempat tinggal.”
Faisal Rahman selaku perwakilan UNHCR Indonesia yang mengurus pengungsi mengatakan, mayoritas pengungsi berasal dari tempat penampungan Cox's Bazar di Bangladesh.
Faisal menambahkan, tidak ada pengungsi yang meninggal dunia saat mendarat. Dari 256 pengungsi Rohingya di tempat sementara tersebut, sekitar 110 adalah perempuan, 86 laki-laki, dan 60 anak-anak.