Kepala Desa Lapang Barat, Kecamatan Gandapura, Mukhtar Yusuf, mengatakan, warga meminta para pengungsi untuk segera dipindahkan.
”Kalau hari ini belum juga dipindahkan, mungkin mereka akan diangkut [menggunakan truk] sama-sama oleh warga,” ujarnya.
Mukhtar mengatakan, penolakan itu muncul karena tidak ada tempat yang mendukung para pengungsi di wilayahnya.
”Bukan masalah logistik, tapi masalah tempat. Ini kan tempat orang-orang nelayan aktivitas, saya rasa mengganggu,“ ujarnya.
Para pengungsi ini sebelumnya telah ditolak berlabuh di wilayah Kecamatan Jangka, Bireuen, dan Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Dari rekaman video yang diterima BBC News Indonesia, beberapa warga bahkan mengancam untuk memukul mereka.
Di sela-sela para pengungsi, dan warga lokal yang berkumpul, Pj Bupati Bireuen Aulia Sofyan tiba di lokasi para pengungsi.
Usai menampung keluhan dan aspirasi masyarakat, Aulia mengatakan belum bisa mengambil kebijakan atas nasib para pengungsi tersebut, seperti memindahkan mereka ke tempat yang lebih laik.
“Belum ada [keputusan]. Saya tampung aspirasi, saya laporkan ke kementerian, lalu bawa ke sidang kabinet. Lalu presiden memutuskan, baru kita dengar apa kebijakan negara karena ini kewenangan negara, bukan kewenangan bupati atau gubernur,“ ujar Aulia.
Sementara itu, juru bicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, mengatakan, pihaknya berupaya memastikan kebutuhan dasar para pengungsi. Selain itu, terus berkoordinasi dengan pihak otoritas, masyarakat setempat, dan mitra kerja dalam upaya mencari tempat penampungan yang baik dan sesuai terhaadap kebutuhan para pengungsi.
Baca juga: Alasan Warga Aceh Tolak Kedatangan Pengungsi Rohingya
Berdasarkan data UNHCR, terdapat 194 pengungsi dan 147 pengungsi yang tiba di Pidie pada 14 dan 15 November 2023.
Kemudian, pada 19 November, pengungsi Rohingya kembali tiba di tiga titik dengan jumlah sekitar 530 orang di Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur.
Total hampir 900 pengungsi Rohingya yang tiba dalam sepekan terakhir di Aceh.
Di kawasan Pantai Desa Kulam, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, sekitar 230 para pengungsi Rohingya ditempatkan di lahan kosong bekas kolam budidaya udang.
Seorang pengungsi yang fasih berbahasa Indonesia, Imam Husen, bercerita dia berada 16 hari di lautan.
“Enam hari ada makan dan air, lalu 10 hari air saja… Sampai sini [wilayah Indonesia], [kapten kapal] cakap ini Indonesia. You orang turun. Dia naik boat, sudah balik. Kita orang turun,” ujar Imam kepada wartawan Rudi Hermawan di lokasi yang melaporkan kepada BBC News Indonesia.
Imam menambahkan, dia dan para pengungsi lain bertolak dari Bangladesh dengan membayar “sekitar 100.000 uang Bangladesh [sekitar Rp13,9 juta] per orang, [anak] kecil tak,” ujarnya.
Baca juga: Amnesty Internasional Desak Pemerintah Terima Pengungsi Rohingya
Berbeda dengan yang terjadi di Bireuen, seorang tokoh masyarakat di desa ini, Tengku Abdul Wahab mengatakan bahwa warga akan melindungi para pengungsi tersebut.
“Tidak layak sekali kalau kita dorong mereka ke laut, nyawa mereka tidak terjaga. Nanti kalau mereka meninggal dunia gara-gara kita, masyarakat, siapa yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Walau demikian Wahab memandang bahwa lokasi para pengungsi saat ini tidak laik dan meminta pemerintah untuk memindahkan mereka ke tempat penampungan.
Melihat penolakan masyarakat tersebut, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Khairil, meminta agar pemerintah pusat segera turun tangan menyelesaikan masalah kedatangan orang-orang Rohingya.
“Pemerintah pusat harus segera ambil alih guna menghindari konflik sosial di masyarakat, karena ketika masyarakat menolak itu akan berdampak pada tindakan-tindakan yang tidak tahu apa yang akan dilakukan masyarakat,“ katanya.
Baca juga: Warga Juga Kesulitan Ekonomi, Tak Mampu Menampung Ratusan Pengungsi Rohingya
Khairil mencatat setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan masyarakat menolak keberadaan para pengungsi.
“Pertama, mereka hilang entah ke mana ketika sudah ditampung. Kedua ada masyarakat yang pernah dipidana saat bantu perbaiki boat di Aceh Timur, sehingga masyarakat sudah pesimis menolong karena ada konteks hukum yang tidak clear,“ ujarnya.
Untuk itu, Khairil meminta kepada pemerintah pusat mengeluarkan aturan tentang petunjuk teknis bagi pemda dalam menyelesaikan pengungsi Rohignya.
“Kalau pemerintah pusat tidak mengeluarkan aturan teknis, pemda tidak bisa mengambil tindakan apapun. Akibatnya, muncul potensi konflik sosial di masyarakat,“ katanya.