Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gurgur Manurung
Tenaga Ahli Komisi VI DPR RI

Alumni Pasca Sarjana IPB Bogor bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Destinasi Pariwisata Super Prioritas Tanpa Naskah

Kompas.com - 31/08/2023, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas di lima wilayah, yaitu Danau Toba (Sumut), Borobudur (Jateng), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), dan Likupang (Sulut).

Hampir lima tahun pencanangan itu, tetapi hingga hari ini naskah atau dokumen pembangunan tidak pernah dipublikasi. Akibatnya, publik sulit menilai apakah sesuai rencana atau tidak.

Pertanyaan lain, bagaimana jumlah dana yang digelontorkan dibandingkan dengan manfaat atau dampak yang diterima negara dan rakyat?

Saya mengamati secara dekat kawasan Danau Toba sebelum dan setelah dijadikan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).

Sejak awal, saya menyuarakan di media sosial, media konvensional dan berbagai media agar publik diberikan naskah, dokumen lingkungan atau rencana induk kegiatan DPSP.

Fakta di lapangan, ketika Danau Toba dijadikan DPSP yang pengelolaannya diserahkan kepada Badan Otorita Danau Toba (BODT) melalui Perpres Nomor 49 Tahun 2016, menimbulkan konflik dengan penduduk lokal seperti di Desa Sigapiton dan Motung.

Penanganan konflik dilakukan dengan kekerasan. Sampai saat ini konflik itu berkepanjangan karena pendekatan kekuasaan.

Argumentasi pihak pemerintah dan penduduk lokal tidak ada titik temu karena tidak ada naskah yang disepakati sejak awal. Sejatinya ada naskah kajian akademik agar kita memiliki acuan dalam dialog.

Hampir lima tahun kawasan Danau Toba dijadikan DPSP, tetapi belum menunjukkan dampak yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam pengamatan saya, dampak dari DPSP adalah pejabat kementerian terkait dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) silih berganti berdatangan ke Danau Toba dengan kemewahan. Rombongan mereka datang dengan kenderaan-kendaraan mewah.

Realitanya, kunjungan-kunjungan tersebut tidak berdampak banyak ke masyarakat sekitar.

Perubahan yang terjadi setelah Danau Toba menjadi DPSP adalah kehadiran kapal Ihan Batak, Porapora dari Ajibata ke Ambarita, dan kapal Kaldera dari Balige ke Onan Runggu/Sipinggan dan Muara.

Dalam keseharian, penumpang Kaldera sangat minim. Angkutan kapal mewah milik BUMN milik PT. ASDP itu tidak memiliki integrasi dengan transportasi di darat. Jadi, penumpang kapal hanya mereka yang memiliki kendaraan pribadi.

Sejatinya kendaraan umum di darat disiapkan bagi wisatawan agar dapat mengelilingi Danau Toba bersama keluarga. Sebab, cukup banyak wisatawan yang tidak memiliki atau membawa kendaraan pribadi.

Ketika kegiatan MotoGP di Mandalika dianggap sukses, kegiatan yang sama dirancang digelar di Danau Toba, yaitu F1H20 di Balige.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com