KUPANG, KOMPAS.com - G (18), Anak Didik Pemasyarakatan (Andikpas) asal Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tampak bersemangat saat mengikuti ibadah bersama yang digelar Komisi Kategorial Persekutuan Gereja dan Lembaga-lembaga Injili (PGLLI) NTT, Rabu (23/8/2023).
G dan 26 temannya yang lain, adalah penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas 1 Kupang. Mereka duduk berjejer dalam ruangan sambil mengikuti ibadah yang dipimpin oleh pendeta Alexander Tenu.
Baca juga: Pembinaan Anak Berkonflik Hukum di Lapas Pamekasan Terkendala Tenaga Konseling
Ibadah itu juga dihadiri juga Ketua PGLII Wilayah NTT Pendeta Gatsper Anderius Hawu Lado, Pelaksana Tugas Kepala LPKA Kupang Gidion Pally, serta sejumlah jemaat lainnya.
G dan rekan-rekannya khusyuk mengikuti ibadah. Mereka juga diberi kesempatan bernyanyi di depan para peserta yang hadir. Beberapa orang terlihat meneteskan air mata ketika mendengar nyanyian tulus para Andikpas.
Selesai ibadah, Ketua PGLII Wilayah NTT Pendeta Gatsper Anderius Hawu Lado, sempat bertanya kepada G dan teman-temannya soal rencana mereka setelah selesai menjalani masa pembinaan.
"Siapa di sini yang setelah keluar mau jadi pendeta? Angkat tangan," tanya Pendeta Gatsper.
Dari puluhan anak-anak yang hadir, hanya tiga orang yang mengangkat tangan. Satu di antaranya adalah G.
Melihat itu, Pendeta Gatsper lantas mengatakan akan menunggu tiga anak itu bila keluar nanti. Dia akan memfasilitasi ketiganya untuk menempuh pendidikan calon Pendeta atau Teologi.
Keinginan kuat G untuk menjadi seorang pendeta bukan tanpa alasan. Dia ingin meneruskan profesi kakeknya yang seorang pendeta.
"Saya ingin gantikan Opa (kakek) sebagai Pendeta jika nanti Opa sudah tidak ada lagi," kata G, saat ditemui Kompas.com, usai kegiatan ibadah.
Kepada wartawan, G mengaku menjadi penghuni LPKA Klas 1 Kupang, sejak 2021 lalu.
Dia terlibat kasus pembunuhan di Gelanggang Olahraga Kota Kupang saat usianya masih 15 tahun.
Baca juga: Kunjungi Lapas Anak Blitar, Wamen Hukum dan HAM: Lapasnya Sangat Bersih, Sangat Manusiawi
Saat itu kata G masih duduk di bangku kelas III salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Kupang.
Waktu kejadian, dirinya dalam kondisi mabuk minuman keras jenis sopi. G akhirnya divonis enam tahun empat bulan penjara.