Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eki Baihaki
Dosen

Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad); Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas). Ketua Citarum Institute; Pengurus ICMI Orwil Jawa Barat, Perhumas Bandung, ISKI Jabar, dan Aspikom Jabar.

110 Tahun Pasundan Merawat Peradaban Negeri

Kompas.com - 25/07/2023, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PAGUYUBAN Pasundan, pada 20 Juli 2023, memasuki usia ke-110 tahun sejak didirikan oleh beberapa mahasiswa STOVIA. Saat ini menjadi organisasi terbesar dan tertua yang berbasis etnis di Indonesia.

Eksistensi organisasi yang banyak pakar dikatakan anomali dalam menghadapi ancaman zaman terlebih di era era distruptif.

Antropolog Kusnaka Adimihardja, penulis Pandangan Hidup Orang Sunda (1987), memaparkan bahwa asal-usul manusia Sunda adalah masyarakat huma.

Sifatnya individualis dan pola kepemimpinannya seperti ayam yang susah diatur, sulit untuk dimobilisasi.

Dengan pencapaian Paguyuban Pasundan saat ini, asumsi bahwa orang Sunda individualis, tidak pandai mengelola konflik tidak sepenuhnya benar.

Rhenald Kasali, dalam bukunya Let’s Change (2014), menyebut bahwa bukan mereka yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan mereka yang paling adaptif dalam merespons perubahan dari dampak pesatnya transformasi digital, dalam bentuk volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity atau lebih dikenal sebagai VUCA.

Suatu kondisi di mana perubahan terjadi begitu cepat, tidak pasti, kompleks dan ambigu karena hadirnya internet dan pesatnya transformasi digital, yang telah dan akan memengaruhi semua sendi kehidupan. Saat ini semua elemen bangsa dipaksa untuk berubah atau akan menjadi punah.

Ada tantangan besar bagi pengurus besarnya saat ini, untuk menjadikan Paguyuban Pasundan tetap relevan dengan laju zaman dan kontributif bagi solusi bangsa.

Maka dibutuhkan kemampuan adaptasi dan inovatif untuk senantiasa berkontribusi membangun peradaban bangsa merujuk dari nilai luhur spiritual dan kearifan lokal yang hidup pada masyarakat Sunda.

Ada puisi yang kerap dibacakan ketua umum Paguyuban Pasundan saat ini Prof Didi Turmudzi dalam berbagai kegiatan resmi Pasundan. Judulnya Sunda Tandang (2015). Refleksi tentang tantangan besar yang dihadapi etnis Sunda saat ini.

Tatar Pasundan kiwari ngan kari carita/ dina dongeng ka barudak samemeh sare/ leuweungna geus ruksak/ sawahna geus beak/ budayana ngarakacak/ (Tanah Pasundan kini tinggal cerita/ dalam dongeng anak-anak sebelum tidur/ hutannya sudah habis/ sawahnya sudah binasa/ budayanya menyedihkan).

Puisi yang merefleksikan kegelisahan ketua umum Paguyuban Pasundan melihat kerusakan alam di tatar sunda yang tak bisa dibendung.

Salah satu contoh fenomenalnya adalah kerusakan Sungai Citarum yang sempat kelam karena laju pembangunan yang tidak terkendali.

Beliau khawatir sumber daya alam Sunda tidak akan tersisa untuk anak-cucu kita, karena kerakusan dalam mengeksploitasi alam.

Dan mulai pudarnya budaya Sunda. Dulu pada 1960, budaya Sunda di Bandung masih sangat kental. Siapapun yang datang ke Bandung, dari manapun asalnya mereka berusaha menjadi seperti orang Sunda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com