Salin Artikel

110 Tahun Pasundan Merawat Peradaban Negeri

Eksistensi organisasi yang banyak pakar dikatakan anomali dalam menghadapi ancaman zaman terlebih di era era distruptif.

Antropolog Kusnaka Adimihardja, penulis Pandangan Hidup Orang Sunda (1987), memaparkan bahwa asal-usul manusia Sunda adalah masyarakat huma.

Sifatnya individualis dan pola kepemimpinannya seperti ayam yang susah diatur, sulit untuk dimobilisasi.

Dengan pencapaian Paguyuban Pasundan saat ini, asumsi bahwa orang Sunda individualis, tidak pandai mengelola konflik tidak sepenuhnya benar.

Rhenald Kasali, dalam bukunya Let’s Change (2014), menyebut bahwa bukan mereka yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan mereka yang paling adaptif dalam merespons perubahan dari dampak pesatnya transformasi digital, dalam bentuk volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity atau lebih dikenal sebagai VUCA.

Suatu kondisi di mana perubahan terjadi begitu cepat, tidak pasti, kompleks dan ambigu karena hadirnya internet dan pesatnya transformasi digital, yang telah dan akan memengaruhi semua sendi kehidupan. Saat ini semua elemen bangsa dipaksa untuk berubah atau akan menjadi punah.

Ada tantangan besar bagi pengurus besarnya saat ini, untuk menjadikan Paguyuban Pasundan tetap relevan dengan laju zaman dan kontributif bagi solusi bangsa.

Maka dibutuhkan kemampuan adaptasi dan inovatif untuk senantiasa berkontribusi membangun peradaban bangsa merujuk dari nilai luhur spiritual dan kearifan lokal yang hidup pada masyarakat Sunda.

Ada puisi yang kerap dibacakan ketua umum Paguyuban Pasundan saat ini Prof Didi Turmudzi dalam berbagai kegiatan resmi Pasundan. Judulnya Sunda Tandang (2015). Refleksi tentang tantangan besar yang dihadapi etnis Sunda saat ini.

Tatar Pasundan kiwari ngan kari carita/ dina dongeng ka barudak samemeh sare/ leuweungna geus ruksak/ sawahna geus beak/ budayana ngarakacak/ (Tanah Pasundan kini tinggal cerita/ dalam dongeng anak-anak sebelum tidur/ hutannya sudah habis/ sawahnya sudah binasa/ budayanya menyedihkan).

Puisi yang merefleksikan kegelisahan ketua umum Paguyuban Pasundan melihat kerusakan alam di tatar sunda yang tak bisa dibendung.

Salah satu contoh fenomenalnya adalah kerusakan Sungai Citarum yang sempat kelam karena laju pembangunan yang tidak terkendali.

Beliau khawatir sumber daya alam Sunda tidak akan tersisa untuk anak-cucu kita, karena kerakusan dalam mengeksploitasi alam.

Dan mulai pudarnya budaya Sunda. Dulu pada 1960, budaya Sunda di Bandung masih sangat kental. Siapapun yang datang ke Bandung, dari manapun asalnya mereka berusaha menjadi seperti orang Sunda.

Mereka bicara dengan Bahasa Sunda di mana pun berada. Di toko, alun-alun, sekolah, masjid dan dalam pergaulan keseharian.

Saat ini terjadi krisis penggunaan bahasa Sunda. Kini, banyak generasi muda yang kadang takut bicara pakai Bahasa Sunda karena adanya undak usuk basa.

Salah satu cara untuk melestarikan budaya dan Bahasa Sunda pada generasi muda, Paguyuban Pasundan mendirikan 118 sekolah dasar dan menengah, 4 perguruan tinggi dan ada binaan pesantren, serta Akademi Budaya Sunda dalam ihtiar merawat budaya Sunda.

Paguyuban Pasundan mengajak seluruh anak bangsa berkolaborasi dan berjihad bersama Paguyuban Pasundan dalam memerangi kebodohan dan kemiskinan.

Jika pada 1913 Paguyuban Pasundan berdiri dipelopori oleh para calon dokter, kini Universitas Pasundan siap meluluskan para dokter baru, untuk turut menjawab permasalahan kesehatan di Jawa Barat.

Semangat “bertarung” yang dimiliki Mas Dajat Hidajat dan para pendiri Paguyuban Pasundan lainnya sejak awal pendirian organisasi ini pada 20 Juli 1913, di rumah Daeng Kanduruan Ardiwinata.

Yang mengusulkan paguyuban Pasundan dilandasi semangat baru melawan kolonialisme dan keterbelakangan.

Semangat dan jalan baru, lahir sebagai dampak kebijakan politik etis Belanda yang menghasilkan golongan intelektual pribumi. Kemudian menyadari akan keterbelakangan nasib bangsanya dan mulai mengangkat dua senjata utama: pena dan organisasi, dalam upaya meruntuhkan dominasi kekuasaan kolonial dan alam pikiran feodal saat itu.

Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (1981), pada tiga dasawarsa pertama abad ke-20, masalah dalam masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang begitu besar, sehingga masalah-masalah politik, budaya, dan agama, rakyat Indonesia mengalami dinamika perubahan dan cara pandang baru dalam melihat persoalan bangsa.

Riset disertasi Mikihiro Moriyama, menulis para pemuda yang melahirkan Pasundan pada 20 Juli 1913 adalah buah dari semangat baru yang ditiup-tiupkan oleh Moehamad Moesa mulai pada pertengahan abad ke-19.

Berkat bimbingan dan dukungan Karel Frederik Holle, yang berjuang membangunkan kembali bahasa Sunda.

Dari rintisan Moesa dan anak-anaknya, orang Sunda mengenal bahasanya dalam huruf latin. Setelah didirikan Sekolah Rakyat, anak-anak Sunda mulai mempelajarinya di bangku-bangku sekolah.

Seiring waktu, jenjang sekolah yang dapat diikuti oleh anak-anak pribumi kian
tinggi hingga di sekolah kedokteran.

Nama Pasundan dipilih untuk paguyuban mereka. Majalah resmi Pasundan Papaes Nonoman, No. 5, Th. 1, 1 Juni 1914, merekam peristiwa itu dengan baik.

Itulah peristiwa, yang oleh Edi S. Ekadjati dalam Kebangkitan Kembali Orang Sunda (2004) disebut sebagai kebangkitan kembali orang Sunda secara politik sejak runtuhnya Pajajaran pada 1579.

Meski artikulasi politik Pasundan, kini masih terdengar lirih. Karena perannya sebagai penyalur aspirasi diambil alih oleh partai politik. Namun, peran politiknya tetap diharapkan publik.

Dr. Tb Hasanudin, Dewan Pangaping Paguyuban Pasundan, menggariskan bahwa politik Paguyuban Pasundan adalah politik mensejahterakan dan mencerdaskan.

Sehingga semua kegiatan itu harus berangkat dari niat bagaimana rakyat supaya sejahtera dan bagaimana rakyat supaya cerdas.

Dalam statuta Pasundan 2020-2025 tercantum visi, terwujudnya masyarakat Indonesia yang mempunyai harkat dan martabat pada 2040.

Dengan dua misi utama: (1) memerangi kebodohan dan kemiskinan, (2) memelihara nilai-nilai budaya Sunda dan ajaran Islam.

Visi- misi ini untuk mencapai udagan (goal) keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan kehormatan. Dua misi itu ditunjang dengan sejumlah usaha dan bidang garapan yang secara umum sudah selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Peran Paguyuban Pasundan dalam merawat peradaban bangsa, dijabarkan oleh Universitas Pasundan dan Lembaga Pendidikan yang berada di bawah naungan Paguyuban Pasundan.

Rektor Unpas Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom., IPU., menarasikannya dengan Pengkuh Agamana (Nyantri) sama dengan kecerdasan spiritual (SQ), Luhung Elmuna (Nyakola) kecerdasan intelektual (IQ), dan Jembar Budayana (Nyunda) kecerdasan emosional (EQ).

Unpas yang berdiri sejak tahun 1960, telah menanamkan ketiga nilai tersebut kepada mahasiswa sejak masih berstatus mahasiswa baru dan terus diperkuat dengan berbagai muatan kurikulum. Diharapkan dapat menciptakan lulusan yang unggul dan mengedepankan konsep Tri Tangtu (nyantri, nyakola, nyunda).

SDM nyantri, menunjukkan kualitas spiritual dalam mengamalkan nilai-nilai agama. Indikatornya, mahasiswa harus kokoh akidah, ibadah, muamalah, dan akhlaknya sesuai keyakinan yang dianut.

Nyantri juga bisa ditunjukkan dengan sedalam apa mahasiswa mengetahui literasi, moderasi, dan toleransi beragama.

Terkait SDM nyunda, bukan berarti mahasiswa harus fanatik-ekstrem terhadap tradisi Sunda, melainkan toleran sebagaimana filosofi hidup masyarakat Sunda; kudu soméah, hadé ka sémah.

Nyunda berarti mengakar dengan tradisi Sunda sebagai tempat berasal maupun menetap di tanah Pasundan.

Paguyuban Pasundan adalah organisasi yang inklusif, bahkan pengurusnya pun tidak hanya berasal dari etnis Sunda secara biologis juga dari etnis lainnya yang mencintai budaya Sunda.

Bahkan pengurus cabang Paguyuban Pasundan tidak hanya di Indonesia, juga ada di manca negara.

Sementara SDM nyakola (Luhung Elmuna), berarti nyaruaan nu sakola atau insan pembelajar yang memiliki kualitas kecerdasan intelektual.

“SDM nyakola merujuk pada manusia yang tercerahkan, ditandai dengan jenjang pendidikan, berpengetahuan luas, menguasai metode, ICT (information, communication, and technology), bahkan bahasa asing”.

Dari sudut pandang Islam, nyakola mengarah pada sifat fathonah, cerdas dalam memecahkan masalah, termasuk masalah bangsa dan negara.

Sebait puisi Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, relevan dengan spirit Paguyuban Pasundan yang senantiasa bertarung melawan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.

Paguyuban Pasundan diharapkan senantiasa “Ada dan mengada” hadir untuk senantiasa berkontribusi merawat peradaban negeri. Semoga!

https://regional.kompas.com/read/2023/07/25/07300051/110-tahun-pasundan-merawat-peradaban-negeri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke