SETIDAKNYA sudah ada tiga gubernur dari wilayah Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi tenggara, dan Sulawesi Tengah) yang menyatakan tidak setuju terhadap perpanjangan kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun di wilayah Sulawesi.
Bahkan para kepala daerah itu lebih memilih jika konsesi lahan Vale dikembalikan kepada BUMD provinsi dan kabupaten/kota masing-masing.
Tuntutan dari ketiga kepala daerah di wilayah operasi PT Vale Indonesia itu merupakan pukulan telak bagi keberadaan perusahaan tambang nikel itu di wilayah Sulawesi.
Akibat keberadaannya dianggap masih minim kontribusi. Komisi VII DPR RI pun sempat melakukan pendalaman mengenai keberadaan perusahaan tambang nikel itu selama ini.
Sayangnya dari aspirasi yang disampaikan oleh berbagai pihak, baik itu masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, dan juga LSM, telah ditemukan berbagai dampak buruk yang harus diselesaikan.
Antara lain dari sisi lingkungan, kontribusi terhadap negara, pemanfaatan dana CSR kepada masyarakat sekitar, dan juga sejauh mana PT Vale Indonesia mau mengakomodasi putra-putri daerah dalam jajaran atas perusahaan.
Pertama, isu kerusakan lingkungan menjadi salah satu yang dipersoalkan kalangan masyarakat lokal terhadap keberadaan PT Vale Indonesia.
Bahkan beberapa LSM lingkungan seperti Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan pernah mendesak manajemen PT Vale Indonesia menghentikan sementara eksploitasi produksi nikel.
Karena sudah mencemari lingkungan di pesisir Pulau Mori, Desa Harapan, Kabupaten Luwu Timur.
Kerusakan lingkungan itu dianggap sudah masuk kategori parah. Laporan yang diterima Komisi VII telah ditemukan limbah sulfur yang masuk dalam kategori limbah berbahaya dan beracun (B3), dan diduga mencemari ekosistem pesisir Pulau Mori.
Masyarakat lokal meyakini bahwa limbah tersebut diduga berasal dari aktivitas tambang dan industri PT Vale Indonesia.
Isu pencemaran ekosistem lingkungan di pesisir laut bukan pertama kali terjadi saat kegiatan tambang dan industri perusahaan tersebut.
Data Walhi, tahun 2014 menemukan bahwa PT Vale Indonesia diduga mencemari laut Lampia akibat tumpahan minyak menutupi kawasan itu.
Kemudian tahun 2018, kondisi dan kualitas lingkungan Danau Mahalona juga menurun drastis akibat sedimentasi tanah bekas penambangan.
Pencemaran ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan biota perairan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat.