Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yulian Gunhar
Anggota DPR

Yulian Gunhar adalah politisi Indonesia yang telah menjabat sebagai anggota DPR-RI, dari Fraksi PDI Perjuangan, selama dua periode (2014–2019 dan 2019–2024), mewakili daerah pemilihan Sumatera Selatan II.

Saat ini, ia dipercaya menjadi anggota Komisi VII yang menangani masalah energi, pertambangan, lingkungan, dll.

Menimbang Keberadaan PT Vale Indonesia

Kompas.com - 15/11/2022, 14:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kedua, keberadaan PT Vale yang sudah beroperasi selam lebih 50 tahun itu kerap didugat terkait kontribusinya terhadap daerah.

Perusahaan yang akan habis masa kontrak pada 28 Desember 2025 itu dianggap hanya memberikan kontribusi minim bagi daerah, ketimbang dampak buruk kerusakan lingkungan.

Minimnya kontribusi dari keberadaan PT Vale bagi daerah itu, terlihat dari ketidakmampuan perusahaan itu mengangkat tingkat kesejahteraan daerah, khusunya di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel per Maret 2022, Kabupaten Luwu dengan persentasi 12,52 persen, masuk ke dalam lima daerah paling miskin di Sulsel, bersama Kabupaten Jeneponto dengan persentase 14,28 persen, Pangkep 14,28 persen, lalu disusul Luwu Utara dengan persentase 13,59 persen, dan selanjutnya Enrekang 12,47 persen.

Dan ironisnya, di tengah realitas tersebut, ada perusahaan tambang internasional yang sedang ‘berpesta pora’ mengeruk kekayaan sumber daya alam di sana.

Ketiga, terkait isu pemanfaatan Sumber daya Manusia (SDM) lokal. Kontribusi PT Vale Indonesia dalam penyerapan tenaga kerja bagi putra-putri daerah tak lepas dari gugatan.

Walau harus diakui bahwa berdasarkan data, sudah hampir 80 persen karyawan perusahaan PT Vale Indonesia berasal dari daerah. Bahkan hampir seluruh tenaga teknis pertambangan ialah putra-putri daerah di Luwu Timur.

Namun sayangnya, selama lebih 50 tahun beroperasi, PT Vale Indonesia masih belum mampu memberdayakan putra putri daerah di jajaran strategis, seperti direksi maupun komisaris.

Keempat, kebijakan dana corporate social responsibility (CSR) PT Vale Indonesia Tbk juga tidak lepas dari sorotan, karena dianggap tidak berdampak besar bagi masyarakat sekitar tambang.

Salah satunya datang dari masyarakat adat di Kabupaten Luwu Timur, yang mempertanyakan keberadaan anggaran Rp 50 miliar dalam program CSR perusahaan itu, yang tidak pernah dirasakan oleh masyarakat sekitar areal pertambangan.

Transparansi dana CSR tersebut telah disuarakan oleh 10 kelompok suku asli di Luwu Timur yang tanah adatnya menjadi bancakan tambang PT Vale.

Mereka tergabung dalam Badan Pekerja Masyarakat Adat (BPMA) Luwu Timur. Mereka, yakni suku To Karun Si’E, To Padoe, To Tambee, To Konde, To Timampu’u, To Pekaloa, To Turea, To Beau, To Weula, dan To Taipa.

Mempertimbangkan akuisisi

Dari berbagai temuan dampak buruk dari keberadaan PT Vale Indonesia di berbagai sisi tersebut, maka sudah saatnya pemerintah memperhatikan tuntutan masyarakat lokal yang disuarkan kalangan LSM maupun ketiga gubernur di Sulawesi untuk tidak lagi memperpanjang kontrak karya PT. Vale Indonesia.

Bahkan tidak ada salahnya jika pemerintah pusat mulai mempertimbangkan untuk mengakuisisi perusahaan tambang nikel level internasional itu.

Keberhasilan Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakuisisi PT Freeport Indonesia, diharapkan bisa dilanjutkan dengan menguasai mayoritas saham PT Vale Indonesia yang kontrak karyanya akan berakhir Desember 2025, dengan meningkatkan saham pemerintah dari 20 persen menjadi 51 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com