PONTIANAK, KOMPAS.com – Sebanyak 33 orang yang tergabung dalam perhimpunan pemilik kapal perikanan tangkap Kalimantan Barat (Kalbar) mengancam akan menghentikan operasional jika pemerintah tetap memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.
“Jika pemerintah melaksanakan dan memaksakan PP Nomor 85 Tahun 2021, maka (kami) pemilik kapal akan menghentikan operasional kapal perikanan penangkap ikan,” kata perwakilan perhimpunan pemilik kapal perikanan tangkap Kalbar Cin Cung alias Atong kepada wartawan, Rabu (22/9/2021).
Atong mengklaim, sebanyak 33 orang yang tergabung dalam perhimpunan pemilik kapal perikanan tangkap memiliki ratusan kapal pencari ikan di laut Kalbar dan Natuna.
“Apabila terjadi penghentian operasional kapal, maka akan terjadi pengangguran massal di sektor perikanan tangkap,” ucap Atong.
Baca juga: Dianggap Memberatkan, Para Pemilik Kapal Tangkap di Kalbar Tolak PP Nomor 85
Menurut Atong, sampai dengan saat ini, para pemilik kapal masih menunggu respons pemerintah pusat terkait sikap penolakan ini.
“Kami juga telah diundang pemerintah dalam kegiatan FGD tentang harmonisasi perizinan pusat dan daerah. Lalu tentang pengelolaan sumber daya ikan. Kami merasa tidak sanggup memperpanjang izin dengan kenaikan 150 hingga 400 persen,” ucap Atong.
Maka dari itu, tegas Atong, sebanyak 33 orang yang tergabung dalam perhimpunan tersebut meminta pemerintah pusat mengkaji ulang peraturan tersebut.
“Pemilik kapal tidak mampu memperpanjang izin kapal, dikarenakan kenaikan tarif PNBP mencapai 150 sampai 400 persen,” ungkap Atong.
Baca juga: Kapal Inka Mina 994 Terbakar di Perairan Raja Ampat, Tim SAR Fokus Evakuasi Korban
Untuk perbandingannya, lanjut Atong, salah satu kapal yang mengajukan perpanjangan izin pada September ini, tahun sebelumnya PNBP dikenakan untuk ukuran 85GT sekitar Rp 70 juta.
Namun dengan adanya penerapan tarif baru ini, uang yang harus dibayar menjadi sekitar Rp 165 juta.
“Untuk membayar izin kapal dengan tarif lama saja kami rugi. Kami juga terdampak pandemi Covid-19, operasional kapal yang mengalami kenaikan, untuk pembelian sparepart, bahan besi dan lainnya,” jelas Atong.