NUNUKAN, KOMPAS.com – Hari pertama Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas menyajikan sejumlah kisah lucu, haru, sekaligus menggemaskan.
Pemandangan tersebut tersaji di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mutiara Perbatasan yang terletak dalam Kecamatan Seimanggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Sejumlah murid yang usianya masih 6 hingga 7 tahun tampak berlari sambil berteriak histeris saat sekolah mereka mulai dibuka dan langsung berebut memeluk pembimbing mereka.
"Mungkin karena lamanya mereka tidak pernah bertemu secara langsung. Kan kita tutup sekolah sejak Maret 2020, jadi begitu mereka sampai sekolah, lalu melihat ustazahnya, mereka langsung histeris dan berebut memeluk," ujar Kepala Yayasan Mutiara Perbatasan Rusmini Hakim, dihubungi, Rabu (1/9/2021).
Baca juga: Hari Pertama PTM Terbatas di Kota Tegal, Banyak Siswa Bingung Cari Ruang Kelas
Tingkah lugu dan kelucuan yang tersaji, menciptakan suasana haru. Para pembimbing bahkan sampai meneteskan air mata.
Mereka merasakan suasana hati anak anak tersebut.
Semangat dan rindu belajar seakan menjadi tambahan motivasi pendidik untuk memberikan ilmu dan adab sebagai bekal mereka nanti.
Mayoritas pelajar di MI Mutiara Perbatasan merupakan anak buruh perkebunan kelapa sawit.
Mereka sering ditinggal orangtuanya yang pergi ke kebun sawit sejak pagi buta dan baru berkumpul kembali dengan keluarga saat menjelang maghrib.
"Jadi ketika mereka berkumpul kembali dengan teman dan gurunya, mereka sangat semangat. Mereka tidak mau pulang meski waktu belajar habis di pukul 10.00 Wita, pokoknya ngambek mereka disuruh pulang," katanya.
Baca juga: Sekolah di Perbatasan RI–Malaysia Mulai Gelar PTM, Kapasitas Siswa 50 Persen
Ada saja tingkah anak anak tersebut saat menolak diminta pulang ke rumahnya.
Ada yang langsung duduk merapat ke samping guru, ada yang memegang lengan guru dengan pandangan mengiba.
Mereka meminta terus diajari pelajaran dan tugas yang selama ini diberikan lewat pesan selular atau modul pembelajaran yang langsung diantar ke rumah sepekan sekali.
"Memang seminggu sekali guru-guru ke rumah mereka, terutama yang tidak punya HP. Kita berikan tugas-tugas, tapi karena orangtua juga sibuk bekerja, akhirnya malah banyak tugas yang terbengkalai," imbuhnya.