Jebor juga menjadi tempat mengasuh anak balita bagi ibu-ibu para pekerja, mereka membuat ayunan di antara rak-rak genteng yang terbuat dari bambu.
Para lelaki biasa menghabiskan waktu seharian, menghasilkan peluh dan otot-otot tubuh yang terbentuk alami karena kerja keras. Jebor menjadi memori kolektif hampir seluruh masyarakat di Jatiwangi.
Lain halnya dengan pabrik-pabrik besar yang lebih suka mengisolasi diri dan karyawannya, membuat benteng-benteng tinggi, yang tidak mudah dijangkau mata anak-anak.
Pabrik besar seolah tak ramah bagi siapa pun. Mereka hanya menyediakan satu pintu untuk para pekerja perempuan yang berduyun-duyun antri ketika jam masuk dan keluar.
Minimnya lahan pertanian
Jatiwangi bukan desa pertanian. Palawija dan beras ditanam hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meskipun produksi pertanian sedikit, dulu mereka mandiri menyediakan bahan masak sehari-hari.
Sayuran tinggal memetik dari kebun dan nasi tinggal menggilingnya dari beras yang mereka tanam.
Namun tidak dapat disangkal, ketika bangunan berdiri di sana, maka ada tanah yang hilang. Tanah produktif tempat menanam segala jenis makanan palawija dan beras berangsur-angsur menyempit.
Sebagai gantinya, berdirilah bangunan manufaktur yang megah, kokoh dan angkuh. Tentu saja ini berimbas pada kebiasaan warga Jatiwangi.
Warga yang dulu ke sawah, giat menanam dan memanen, sekarang tak lagi bisa melakukannya.
Bangunan yang menutup lahan juga mengancam ketersediaan air. Jika saat ini warga masih dapat mengandalkan sumur-sumur pribadi, siapa bisa menebak keberadaan air bersih bila esok atau lusa pipa-pipa besar mengalirkannya ke pabrik-pabrik.
Problem air bersih akan semakin pelik bila pembuangan limbah pabrik mengalami masalah.
Krisis eksistensi
Dampak yang paling ditakutkan adalah krisis eksistensi. Pembukaan kawasan industri tentu saja menyedot banyak pencari tenaga kerja. Mereka berdatangan dari luar kota mencari peruntungan.
Akan banyak wajah-wajah asing dengan bahasa dan logat yang berbeda. Beruntung jika warga setempat bisa bersaing dengan para pendatang.
Yang dikhawatirkan justru ketika penduduk asli tidak mampu bersaing dengan penduduk baru dari luar daerah. Jika hal ini terjadi, warga Jatiwangi hanya akan menjadi tamu di rumahnya sendiri.
Peradaban baru tentu saja diperlukan untuk melanjutkan kehidupan. Menumbuhkannya butuh ruang. Ruang tumbuhnya menjadi perdebatan dari mereka yang lebih dulu meninggalinya.
Beberapa melakukan perlawanan, tetapi banyak yang juga sepakat. Yang lebih penting dari semuanya adalah kesiapan dan menguatkan identitas diri.
Pabrik genteng Jatiwangi kini tengah berada di tengah jalan sunyi. Bila tak mampu mempertahankan diri, usaha ini lambat laun akan mati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.