Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DQLab
Komunitas data scientist

Komunitas praktisi dan industri dalam program belajar data science oleh DQLab (dqlab.id).

Jalan Sunyi Pabrik Genteng Jatiwangi

Kompas.com - 04/09/2018, 14:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kehidupan para pengrajin genteng waktu itu terus berlangsung. Proses cetaknya sangat sederhana, dibuat dengan tangan secara manual.

Hingga tahun 1960-an, pengrajin genteng mulai marak di daerah Burujul. Pada 1977, ketika Orde Baru menggaungkan program Pembangunan Lima Tahun, para pengrajin semakin termotivasi untuk terus menaikkan produksi genteng.

Mereka mulai beralih menggunakan mesin agar pekerjaan lebih cepat dan lebih ringan. Pada 1980-2000, seiring meningkatnya perekonomian rakyat dan majunya pembangunan, semakin banyak pengrajin di daerah Jatiwangi yang mendirikan pabrik genteng.

Alasan di balik kebangkrutan

Keadaan ini tidak hadir tiba-tiba. Ada banyak faktor yang mengambil andil dalam kebangkrutan pabrik genteng Jatiwangi.

Faktor utama adalah keterbatasan tanah liat sebagai bahan baku. Ini merupakan sumber daya alam yang terus-menerus dipakai dan suatu saat akan menipis dan habis. Kualitas tanah liat juga menurun, seiring banyaknya pemukiman.

Penurunan kualitas mengakibatkan nilai produk juga menurun, genteng-genteng jadi mudah pecah. Ongkos produksi terus meningkat, sementara nilai jual menyusut.

Kurangnya inovasi menjadi penyebab kedua. Para pengusaha pabrik genteng seolah sudah sangat puas dengan ritme yang berjalan puluhan tahun itu.

Mereka tak mau beranjak dari zona nyaman. Bentuk dan proses pembuatan genteng masih sama. Mesin yang dipakai tak berganti bentuk. Para pekerjanya pun masih harus kotor.

Seiring pesatnya kemajuan industri genteng, ada bagian yang mereka lupakan, antara lain kreativitas yang selalu ditunggu oleh para konsumennya. Modernisme memaksa efektivitas, kebaruan dan efensiensi, tetapi sayangnya hal itu tidak lepas dari perhatian mereka.

Faktor ketiga adalah maraknya metal roof yang diproduksi dan diiklankan terus-menerus awal 2000-an. Penutup ini menjadi alternatif bagi pembeli dalam memilih atap rumah.

Selain mudah didapatkan, genteng metal yang dicetak per lembar juga relatif lebih efektif dan pemasangannya pun cepat.

Model rumah bergaya minimalis yang dikembangkan pengembang perumahan Indonesia tahun 2000-an secara tidak langsung menggerus permintaan genteng tanah liat.

Para pengembang perumahan pun berbondong-bondong menggunakan genteng metal dengan alasan kepraktisan dan efisiensi. Genteng tanah liat Jatiwangi menjadi korban dan mulai ditinggalkan para penggemarnya.

Pudarnya kejayaan genteng Jatiwangi juga dipengaruhi oleh keberadaan Majalengka sebagai salah satu kawasan yang dilirik pemerintah pusat untuk menunjang pembangunan. Salah satu yang sudah digarap adalah Bandara Internasional Jawa Barat yang letaknya di Kertajati.

Kode dari pemerintah pusat pun disambut gembira oleh daerah. Pemerintah kabupaten gegap gempita mencanangkan Majalengka sebagai kota industri. Keran investor dibuka besar-besaran.

Kini banyak pabrik besar di Majalengka bagian utara. Pabrik garmen, sepatu, obat, Makanan, tas dan masih banyak pabrik lain yang berdiri di lahan-lahan bekas pabrik genteng dan persawahan Jatiwangi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com