Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Magelang, Bambu Disulap Jadi Sistem Peringatan Dini Longsor

Kompas.com - 29/03/2018, 11:25 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Reni Susanti

Tim Redaksi

Rekahan Tanah

Soim berujar, ada tanda alam berupa rekahan tanah yang banyak muncul di kawasan pegunungan Menoreh beberapa tahun terakhir. Fenomena ini dari waktu ke waktu terus bertambah, dan hampir merata di seluruh wilayah ini.

"Pengamatan kami, dahulu tidak pernah ada fenomena ini. Baru beberapa tahun terakhir muncul fenomena ini. Rekahan tanah muncul di banyak titik, di jalan, pemukiman, sampai di dalam rumah sehingga mengakibatkan bangunan rusak atau retak-retak," papar Soim.

Fenomena ini bisa menjadi peringatan bagi penduduk untuk lebih waspada dan mengenali tanda-tanda sebelum datangnya bencana.

Namun belum banyak warga yang sadar akan hal itu. Perlu alat pendeteksi dini, atau kerap disebut Early Warning System (EWS), yang seharusnya dipasang di titik-titik rawan bencana.

(Baca juga : BMKG Cabut Peringatan Dini Tsunami, Warga Pulang ke Rumah )

Akan tetapi tidak mudah mendapatkan EWS tersebut karena harga yang terlampau mahal. Biasanya, pemerintah melalui Badan Penanunggalan Bencana Daerah (BPBD) yang mengupayakan pemasangan teknologi itu.

"Pengajuan pemasangan EWS sudah kami lakukan, namun memang harus melalui prosedur dan harganya mahal, kisaran Rp 100 juta-300 juta," kata Soim.

EWS Sederhana

Soim tidak kehilangan akal, sampai kemudian dirinya merancang alat sangat sederhana untuk mendeteksi lebih dini datangnya bencana. Alat itu jauh dikatakan canggih, karena hanya terbuat dari bambu dan kayu. Tapi fungsi dan cara kerjanya hampir sama dengan EWS.

"Alat ini kami sebut Boplang, fungsinya sama dengan EWS. Alat ini sederhana namun manfaatnya luar biasa karena bisa mendeteksi secara dini jika ada gerakan tanah," jelas Soim.

Ketua Komunitas Garuda Bukit Menoreh (GBM) Salaman itu memaparkan Boplang ini sebetulnya kerap digunakan oleh para tukang batu dalam proses pembangunan rumah.

Untuk ide ini muncul ketika tim ahli geologi dari Jepang datang ke wilayah Salaman untuk meneliti fenomena pergerakan tanah, akhir 2014 silam.

"Mereka mengajari cara membuat alat pendeteksi dini retakan tanah namun yang sederhana, simpel, dan mudah dibuat oleh semua orang. Saya kemudian berinisiatif menerapkan alat itu di Desa Ngargoretno tahun 2017," cerita Soim.

(Baca juga : BNPB: Sirine Peringatan Dini di Gunung Agung Bukan Pendeteksi Letusan )

Soim menjelaskan, dua batang bambu dipasang di dua sisi tanah yang sudah retak. Di antara dua bambu itu dipasang papan yang sudah dibelah dua sehingga membentuk celah. Pada papan itu diberi catatan tanggal dan panjang menggunakan pensil saat pertama kali dipasang.

"Kalau rekahan bertambah lebar, maka celah papan yang sebelumnya rapat akan tambah lebar. Boplang ini harus dipantau setiap hari oleh pemasangnya sehingga bisa diketahui apakah ada gerakan atau tidak," urai Soim.

Berbeda dengan alat EWS, Boplang ini tidak dilengkapi sirine. Namun justru boplang ini bisa mendeteksi datangnya bencana lebih dini dibanding EWS. Apalagi warga setiap hari memeriksa alat ini.

"Beda dengan EWS yang hanya dibiarkan saja, dan baru berbunyi ketika sudah terjadi gerakan tanah sehingga warga belum melakukan persiapan antisipasi," katanya.

Soim menyebut, sudah ada 6 EWS sederhana yang dipasang di dua desa, yakni di Desa Giripurno dan Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman. Ke depan, pihaknya berharap alat ini bisa diketahui masyarakat luas terutama yang bemukim di kawasan rawan bencana.

"Boplang ini justru lebih familiar di telinga orang-orang desa dibanding istilah asing EWS. Cara kerja dan fungsinya juga mudah dipahami," jelasnya.

Rumah warga, Tugiran, di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang nyaris tergerus tanah longsor.KOMPAS.com/IKA FITRIANA Rumah warga, Tugiran, di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang nyaris tergerus tanah longsor.

Terbantu EWS

Tugiran (48), salah satu warga Desa Ngargoretno, mengaku selalu dihantui bencana longsor mengingat rumahnya tepat atas bukit. Sebagian halaman rumahnya bahkan sudah amblas, dan kini mengancam bangunan rumahnya.

Beberapa waktu lalu, Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) telah memasang sebuah EWS yang dilengkapi sirine di rumahnya untuk mengantisipasi datangnya longsor susulan.

"Sejauh ini kami masih tinggal di rumah, tapi kalau hujan, kami harus mengungsi karena takut longsor," tuturnya.

Warga lainnya, Pujo Prayitno (67) menyatakan, tanah longsor adalah bencana yang nyata. Pada 2014 lalu, dia menjadi salah satu korban longsor hingga meluluhlantakkan harta bendanya. Beruntung seluruh anggota keluarganya selamat.

Sejak peristiwa itu, Pujo bertekad untuk membantu warga lainnya. Setiap hujan dia rela berkeliling desa untuk memperingatkan para tetangganya untuk waspada. Adanya EWS sederhana ini cukup membantu Pujo melakukan tugasnya sebagai sukarelawan.

"Saya sudah tidak punya apa-apa kecuali tenaga. Jadi saya siap, sukarela, membantu warga lain yang butuh bantuan. Dulu kalau hujan kami peringatkan warga pakai kentongan, atau tepuk tangan. Sekarang ada Boplang dan EWS cukup bisa membantu," ungkap pendiri Komunitas Selorejo Peduli Menoreh itu. 

Kompas TV Warga di sekitar bantaran bersiap mengantisipasi kemungkinan banjir yang akan datang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com