Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merajut Asa di Tanah Datuk

Kompas.com - 01/03/2018, 09:58 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Reni Susanti

Tim Redaksi

Tanah untuk Rakyat

Koordinator Urusan Aset Kesultanan Langkat, DR OK Edy Ikhsan menyatakan, hasil penulusurannya di Belanda, gedung Arsip Nasional Jakarta dan arsip-arsip di perpustakaan Sumatera Utara, riwayat tanah dan status hukum hutan masyarakat adat Kedatukan Besitang tercatat dalam data sejarah.

Hasil penelusurannya inilah yang menjadi dasar perjuangan Lemhatabes dan Koalisi Revolusi Agraria.

"Seperti kata Afnawi Noeh, pemimpin perjuangan gerilya rakyat penunggu Indonesia di Sumatera Utara yang telah berpulang, kita tidak akan memperjuangkan yang bukan hak kita. Kalau itu hak kita, perjuangkan sampai titik darah penghabisan," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Edy menceritakan, telah ada perjanjian antara pemimpin adat Kedatukan Besitang Datuk OK Abdul Khalid dengan pemerintah Hindia Belanda. 

Perjanjian tersebut menyebut, wilayah hutan adat Sekundur yang luasnya membentang dari Gunung Bendahara sampai Sungai Besitang dan Batu Sipinang menjadi kawasan lindung.

 

(Baca juga : Jokowi: Saya Sedih Kalau Datang ke Daerah Keluhannya Sengketa Tanah)

Perjanjian ini termaktub dalam surat nomor 61 tertanggal 27 Desember 1927. Kemudian diperbaharui dengan surat nomor 138 tanggal 8 Agustus 1935. Terakhir dibuat peta pengaturan batas pada 8 April 1936 yang menyatakan kawasan ini luasnya 79.100 hektar.

Pada 30 Oktober 1938, Sultan Langkat menabalkan nama hutan Sekundur menjadi Suaka Margasatwa Sekundur setelah melakukan penggabungan tiga wilayah hutan adat menjadi satu kawasan lindung.

Ketiga wilayah tersebut meliputi Langkat Selatan wilayah Bahorok seluas 45.090 hektar, Langkat Selatan wilayah Selatan seluas 37.896 hektar, dan Langkat Barat seluas 51.900 hektar.

"Total luasnya jadi 213.985 hektar. Karena bentuknya menyerupai kucing, pemerintah Belanda menyebutnya Wilhelmina Catten atau kucing Wilhelmina," ungkapnya.

Setelah Indonesia merdeka, wilayah tersebut berganti nama menjadi TNGL yang termaktub dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 811/kpts/um/II/1980 tertanggal 6 maret 1980.

Sepanjang 1970-1990 wilayah hutan adat Kedatukan Besitang mengalami pengrusakan secara masif oleh sejumlah perusahaan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Masuknya pengungsi Aceh juga menambah tinggi tingkat kerusakan hutan (deforestasi) karena membuka pemukiman dan perkebunan.

"Masyarakat pun ikut-ikutan membuka ladang, kebanyakan di wilayah Damar Hitam, Barak Induk, Sei Minyak sampai Sei Bamban. Hutan kedatukan diperkirakan rusak seluas 6.700 hektar," kata Edy sambil membetulkan kacamatanya.

(Baca juga : Sengketa Tanah, Warga Tanam Puluhan Pohon Pisang di SD Inpres Ini )

Satu persatu konflik terjadi. Puncaknya pada 2011, terjadi bentrokan dan penggusuran terhadap masyarakat yang menduduki wilayah hutan sampai memakan lima korban. Mereka tertembak aparat.

Pasca bentrok ini, berbondong-bondong masyarakat mendatangi Kedatukan Besitang meminta perlindungan agar tetap bisa bertani menyambung hidup.

Kedatukan Besitang menilai, pemerintah tidak menjalankan amanah perjanjian yang dibuat.

Kedatukan ingin mengembalikan fungsi lahan dan memberi ruang hidup bagi masyarakat supaya hidup dan tumbuh bersama di wilayah adat dengan menjaga prinsip-prinsip konservasi, sesuai pranata dan adat Kedatukan Besitang. Lembaga hukum adat Teluk Aru pun memulainya sejak tujuh tahun lalu. 

"Kemudian diteruskan Kedatukan Besitang sampai saat ini. Kami berjuang menyelaraskan konsep Nawacita-nya Presiden Jokowi. Tanah untuk rakyat. Kami adalah rakyat yang memilik rekam sejarah panjang dan memiliki status hukum yang kuat," tegasnya.

Saat ini, sudah ada peraturan daerah (Perda) yang diinisiasi Lemhatabes, Kedatukan Besitang dan USU. Isinya melindungi dan mengakui masyarakat adat dan sudah dikeluarkan DPRD Langkat.

Bagi Edy, inilah pintu masuk untuk mendapatkan kembali hak penguasaan tanah dan hutan rakyat. Tak lama, Datuk Besitang Kesultanan Negeri Langkat OK Muhammad Yusuf Chalid mengeluarkan Geran Datuk sebagai alas hak masyarakat untuk mengusahai hutan dan tanah kedatukan.

"Semua pihak harus saling berkoordinasi dengan kedatukan terkait penggunaan lahan dan hutan adat Kedatukan Besitang. Untuk menghindar hal-hal yang bisa memicu bentrok dan konflik lagi. Kita ikut melakukan gerakan pelestarian hutan dan membina masyarakat agar menjalankan adat istiadat yang berlaku," tuturnya. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com