Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemilikan Tanah di Yogyakarta dan Permasalahannya

Kompas.com - 28/02/2018, 13:42 WIB
Markus Yuwono,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kepemilikan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mencuat setelah Handoko, seorang warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta atas Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.

Namun, gugatan Handoko digagalkan oleh hakim PN Yogyakarta pada Selasa (20/2/2018). Saat dihubungi melalui telepon selulernya, ahli pertanahan yang juga anggota Parampara Praja, Prof Suyitno, mendukung keputusan itu.

Sebab, menurut dia, dalam memutuskan perkara, hakim didasari berbagai pertimbangan.

"Itu kan putusan hakimnya sudah final, sebelum banding. Putusan juga mempertimbangkan hal tidak hanya sekadar memutuskan," kata Suyitno saat dihubungi, Selasa (27/2/2018).

Sejarah panjang Yogyakarta dari zaman Belanda hingga kontemporer yang menyebabkan Sultan Hamengku Buwono IX kala itu menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.

Baca juga: Tolak Gugatan, Hakim Tegaskan Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya 

Menurut Suyitno, sejarah dimulai ketika Hindia Belanda (Indonesia) saat itu dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels, antara tahun 1808–1811, yang disebutnya banyak warga pribumi yang menjual tanah ke perusahaan asing. 

Saat dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830, saat itu diberlakukan tanam paksa. Hingga akhirnya ada peraturan Belanda staatsblad tahun 1870, dan akhirnya diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod, yang memiliki larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing, yang tertuang dalam staatsblad tahun 1875 No 179.

Jika menarik ke belakang, pada tahun 1870, dibuka untuk masuknya modal asing. Hal ini disebut Opendeur-Politik atau politik pintu terbuka.

Saat tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangan sendiri, lalu menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, hingga pemerintah Belanda menerapkan Undang–Undang Agraria 1870.

"Diasingkan itu dijual, disewakan, dipinjamkan itu enggak boleh. Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar," ujar Suyitno.

Baca juga: Cerita Nenek Cicih Jual Tanah demi Hidup dan Digugat 4 Anak Kandungnya

Lalu, Berdasarkan R Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Selain itu, milik Kadipaten Pakulaman, mengatur hal yang sama. 

Suyitno melanjutkan, proses sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan indang-undang.
   (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY.

"Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku, dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah, maka tidak salah toh kepala daerah melestarikan ketentuan hukum adat," tutur Suyitno.

Menurut dia, peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga non-pribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan non-pribumi.

Disinggung mengenai apakah kebijakan itu masih relevan dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), Suyitno menilai, sebagai akademisi, dia melihat tidak ada pelanggaran HAM.

"Kalau menurut saya, apakah itu bertentangan HAM, secara yuridis penggolongan ada, tetapi dari konvensi internasional HAM dirafitikasi pemerintah Indonesia diatur diskriminasi positif. Artinya, pemberlakuan diskriminasi untuk menghilangkan diskriminasi yang sudah ada, yaitu penderitaan masyarakat Indonesia, khususnya golongan kelas 3. Dulu kelas 1 golongan Eropa, kelas 2 golongan kulit kuning, dan ketiga golongan kulit berwarna atau masih miskin. Oleh karena itu, dasarnya kemiskinan," urainya.

"Sampai kapan? Sampai ketimpangan itu tipis, saat ini ketimpangan tinggi. Menyetarakan bukan berarti menyamakan, tetapi ketimpangannya tidak tinggi," lanjut Suyitno.

Sebab, dia menilai saat ini ketimpangan antara kaya dan miskin di Yogyakarta masih tinggi. "Maksud diskriminasi positif, diskriminasi itu enggak baik, tetapi jika maksudnya baik itu boleh. Untuk menghapuskan akibat dari diskriminasi yang sudah ada. Misalnya, kalau seorang anak dilarang menonton TV melanggar hak asasi atau tidak. Tetapi, larangan ini tujuannya baik," ulasnya.

Untuk itu, peraturan tersebut masih perlu diperlakukan di Yogyakarta sampai benar-benar makmur. "Kalau menurut pendapat saya, masih perlu. Untuk dicabut atau diberlakukan perlu hati-hati. Dicabut dampaknya juga ada, diberlakukan nanti ribut terus," ujarnya.

Bersambung ke halaman 2

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com