Salin Artikel

Kepemilikan Tanah di Yogyakarta dan Permasalahannya

Namun, gugatan Handoko digagalkan oleh hakim PN Yogyakarta pada Selasa (20/2/2018). Saat dihubungi melalui telepon selulernya, ahli pertanahan yang juga anggota Parampara Praja, Prof Suyitno, mendukung keputusan itu.

Sebab, menurut dia, dalam memutuskan perkara, hakim didasari berbagai pertimbangan.

"Itu kan putusan hakimnya sudah final, sebelum banding. Putusan juga mempertimbangkan hal tidak hanya sekadar memutuskan," kata Suyitno saat dihubungi, Selasa (27/2/2018).

Sejarah panjang Yogyakarta dari zaman Belanda hingga kontemporer yang menyebabkan Sultan Hamengku Buwono IX kala itu menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.

Menurut Suyitno, sejarah dimulai ketika Hindia Belanda (Indonesia) saat itu dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels, antara tahun 1808–1811, yang disebutnya banyak warga pribumi yang menjual tanah ke perusahaan asing. 

Saat dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830, saat itu diberlakukan tanam paksa. Hingga akhirnya ada peraturan Belanda staatsblad tahun 1870, dan akhirnya diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod, yang memiliki larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing, yang tertuang dalam staatsblad tahun 1875 No 179.

Jika menarik ke belakang, pada tahun 1870, dibuka untuk masuknya modal asing. Hal ini disebut Opendeur-Politik atau politik pintu terbuka.

Saat tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangan sendiri, lalu menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, hingga pemerintah Belanda menerapkan Undang–Undang Agraria 1870.

"Diasingkan itu dijual, disewakan, dipinjamkan itu enggak boleh. Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar," ujar Suyitno.

Lalu, Berdasarkan R Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Selain itu, milik Kadipaten Pakulaman, mengatur hal yang sama. 

Suyitno melanjutkan, proses sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan indang-undang.
   (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY.

"Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku, dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah, maka tidak salah toh kepala daerah melestarikan ketentuan hukum adat," tutur Suyitno.

Menurut dia, peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga non-pribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan non-pribumi.

Disinggung mengenai apakah kebijakan itu masih relevan dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), Suyitno menilai, sebagai akademisi, dia melihat tidak ada pelanggaran HAM.

"Kalau menurut saya, apakah itu bertentangan HAM, secara yuridis penggolongan ada, tetapi dari konvensi internasional HAM dirafitikasi pemerintah Indonesia diatur diskriminasi positif. Artinya, pemberlakuan diskriminasi untuk menghilangkan diskriminasi yang sudah ada, yaitu penderitaan masyarakat Indonesia, khususnya golongan kelas 3. Dulu kelas 1 golongan Eropa, kelas 2 golongan kulit kuning, dan ketiga golongan kulit berwarna atau masih miskin. Oleh karena itu, dasarnya kemiskinan," urainya.

"Sampai kapan? Sampai ketimpangan itu tipis, saat ini ketimpangan tinggi. Menyetarakan bukan berarti menyamakan, tetapi ketimpangannya tidak tinggi," lanjut Suyitno.

Sebab, dia menilai saat ini ketimpangan antara kaya dan miskin di Yogyakarta masih tinggi. "Maksud diskriminasi positif, diskriminasi itu enggak baik, tetapi jika maksudnya baik itu boleh. Untuk menghapuskan akibat dari diskriminasi yang sudah ada. Misalnya, kalau seorang anak dilarang menonton TV melanggar hak asasi atau tidak. Tetapi, larangan ini tujuannya baik," ulasnya.

Untuk itu, peraturan tersebut masih perlu diperlakukan di Yogyakarta sampai benar-benar makmur. "Kalau menurut pendapat saya, masih perlu. Untuk dicabut atau diberlakukan perlu hati-hati. Dicabut dampaknya juga ada, diberlakukan nanti ribut terus," ujarnya.

Bersambung ke halaman 2

Hubungan warga non-pribumi dan pribumi

Berbeda dari pemaparan Prof Suyitno, dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Hieronymus Purwanta menilai ada diskriminasi kepemilikan tanah di Yogyakarta. "Ya, problemnya Yogyakarta memang begitu. Kalau dibilang tidak adil ya tidak adil, kalau dibilang diskriminasi ya diskriminasi. Aturan mainnya memang keturunan Tionghoa tidak memiliki tanah hak milik. Paling banter hak guna bangunan," kata Hieronymus.

Dia menilai kebijakan ini memang hanya untuk warga keturunan Tionghoa. Sebab, jika merunut sejarah, Yogyakarta berbeda dengan wilayah lainnya yang didatangi dari berbagai negara. Hanya warga Tionghoa yang bekerja di sekitar kota gudeg ini.

Lokasinya hanya di sekitar Kampung Ketandan, di dekat Pasar Tradisional Beringharjo. Mereka banyak yang menjalankan bisnis jual beli emas, pemungut cukai pasar, hingga simpan pinjam uang.

Keturunan Tionghoa hanya terbatas di sekitar perkotaan, tidak sampai ke wilayah perdesaan. Bahkan sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II yang bertakhta, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828, hubungan baik antara warga non-pribumi, tetapi mereka bekerja sama bukan secara komunal atau bersifat hubungan pribadi.

Salah satunya sejarah Tan Jin Sing antara tahun 1760 sampai 1831. Dia merupakan tokoh Tionghoa yang diangkat sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.

Thomas Stamford Bingley Raffles karena kepandaiannya, dan menjadi jembatan antara Sultan Hamengku Buwono III diangkat sebagai bupati pada 1813 dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat. Sampai sekarang, atas jasanya dijadikan nama sebuah jalan di Yogyakarta.

Saat itu, Sultan memberikan tanah di sepanjang Jalan Ketandan dan dibangun dengan arsitektur Jawa, Eropa, dan China milik Tan Jin Sing sepanjang sekitar 700 meter. Saat ini wilayah Ketandan dikenal dengan pecinan di Yogyakarta.

Kawasan pecinan di Yogyakarta memang sulit dilacak dari segi peninggalan sejarahnya. Apalagi penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia.

"Meski memiliki hubungan baik dengan keraton, tetapi mereka tetap dibatasi. Misalnya sudah sejak lama orang keturunan Tionghoa tidak boleh tinggal di desa, tapi di kota. Jadi sangat jarang orang Tionghoa ditemukan di desa. Itu jauh sebelum HB IX (mengeluarkan surat instruksi)," jelas Hieronymus.

Meski ada pembatasan terhadap warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta, tetapi hubungannya dengan warga pribumi tetap tak ada konflik. Kondisi di Kota Gudeg ini tetap nyaman, baik untuk tinggal maupun menjalankan usaha. Selain itu, minimnya kerusuhan karena keturunan Tionghoa di Yogyakarta tidak punya pesaing dari luar. Berbeda dari Solo, ada keturunan dari Yaman atau bangsa Arab yang datang. Mereka bersaing untuk berbisnis.

Menurut dia, kebijakan tersebut karena mempertimbangkan berbagai macam faktor. Misalnya karena kemampuan warga pribumi, ketika dibiarkan bersaing dengan keturunan pendatang, mereka pasti akan kalah, baik itu zaman dulu maupun saat ini.

Pembatasan ini untuk melindungi masyarakat lokal dan pertimbangan masalah keamanan untuk keturunan Keraton Yogyakarta maupun warga pribumi. Agar ketika terjadi kesenjangan yang tinggi, tidak terjadi kerusuhan dengan pihak keturunan Tionghoa yang telah menguasai tanah.

"Kalau terjadi kesenjangan warga miskin, akan muncul kerusuhan. Aturan itu mencegah penguasaan tanah kepada warga keturunan" ulasnya.

Namun demikian, pihaknya berharap Pemprov DIY dan Keraton Yogyakarta mencari solusi terbaik agar tidak ada kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi, hingga terkait tanah sultan ground. Sebab, konflik agraria sering terjadi di DIY. Purwanta mengambil contoh konflik paling baru di Pantai Watu Kodok, Gunung Kidul, dan pembebasan lahan bandara di Kulon Progo.

Saat dihubungi terpisah, Kepala Badan Pertanahan DIY Tri Wibisono mengaku enggan berkomentar terkait tanah di Yogyakarta dan gugatan terkait tanah tersebut. "Untuk saat ini no comment dulu. Nanti takutnya kalau disampaikan sepotong-sepotong malah timbul presepsi buruk," kata Tri Wibisono.

Sebelumnya, Handoko, si penggugat, menyampaikan akan mengambil langkah banding yang akan diajukan 14 hari setelah putusan sidang kemarin.

"Saya akan mengajukan banding," tutur Handoko.

Gugatan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY diajukan oleh Handoko, warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY lantaran menjalankan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975.

"Saya menganggap pejabat yang menjalankan Surat Instruksi (Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975) itu melanggar hukum. Instruksi itu juga saya nilai mengandung diskriminasi," ujar Handoko.

https://regional.kompas.com/read/2018/02/28/13424071/kepemilikan-tanah-di-yogyakarta-dan-permasalahannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke