Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemilikan Tanah di Yogyakarta dan Permasalahannya

Kompas.com - 28/02/2018, 13:42 WIB
Markus Yuwono,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

Hubungan warga non-pribumi dan pribumi

Berbeda dari pemaparan Prof Suyitno, dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Hieronymus Purwanta menilai ada diskriminasi kepemilikan tanah di Yogyakarta. "Ya, problemnya Yogyakarta memang begitu. Kalau dibilang tidak adil ya tidak adil, kalau dibilang diskriminasi ya diskriminasi. Aturan mainnya memang keturunan Tionghoa tidak memiliki tanah hak milik. Paling banter hak guna bangunan," kata Hieronymus.

Dia menilai kebijakan ini memang hanya untuk warga keturunan Tionghoa. Sebab, jika merunut sejarah, Yogyakarta berbeda dengan wilayah lainnya yang didatangi dari berbagai negara. Hanya warga Tionghoa yang bekerja di sekitar kota gudeg ini.

Lokasinya hanya di sekitar Kampung Ketandan, di dekat Pasar Tradisional Beringharjo. Mereka banyak yang menjalankan bisnis jual beli emas, pemungut cukai pasar, hingga simpan pinjam uang.

Keturunan Tionghoa hanya terbatas di sekitar perkotaan, tidak sampai ke wilayah perdesaan. Bahkan sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II yang bertakhta, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828, hubungan baik antara warga non-pribumi, tetapi mereka bekerja sama bukan secara komunal atau bersifat hubungan pribadi.

Salah satunya sejarah Tan Jin Sing antara tahun 1760 sampai 1831. Dia merupakan tokoh Tionghoa yang diangkat sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.

Thomas Stamford Bingley Raffles karena kepandaiannya, dan menjadi jembatan antara Sultan Hamengku Buwono III diangkat sebagai bupati pada 1813 dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat. Sampai sekarang, atas jasanya dijadikan nama sebuah jalan di Yogyakarta.

Baca juga: Warga Bukit Duri Akan Buktikan Kepemilikan Tanah di Pengadilan

Saat itu, Sultan memberikan tanah di sepanjang Jalan Ketandan dan dibangun dengan arsitektur Jawa, Eropa, dan China milik Tan Jin Sing sepanjang sekitar 700 meter. Saat ini wilayah Ketandan dikenal dengan pecinan di Yogyakarta.

Kawasan pecinan di Yogyakarta memang sulit dilacak dari segi peninggalan sejarahnya. Apalagi penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia.

"Meski memiliki hubungan baik dengan keraton, tetapi mereka tetap dibatasi. Misalnya sudah sejak lama orang keturunan Tionghoa tidak boleh tinggal di desa, tapi di kota. Jadi sangat jarang orang Tionghoa ditemukan di desa. Itu jauh sebelum HB IX (mengeluarkan surat instruksi)," jelas Hieronymus.

Meski ada pembatasan terhadap warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta, tetapi hubungannya dengan warga pribumi tetap tak ada konflik. Kondisi di Kota Gudeg ini tetap nyaman, baik untuk tinggal maupun menjalankan usaha. Selain itu, minimnya kerusuhan karena keturunan Tionghoa di Yogyakarta tidak punya pesaing dari luar. Berbeda dari Solo, ada keturunan dari Yaman atau bangsa Arab yang datang. Mereka bersaing untuk berbisnis.

Menurut dia, kebijakan tersebut karena mempertimbangkan berbagai macam faktor. Misalnya karena kemampuan warga pribumi, ketika dibiarkan bersaing dengan keturunan pendatang, mereka pasti akan kalah, baik itu zaman dulu maupun saat ini.

Pembatasan ini untuk melindungi masyarakat lokal dan pertimbangan masalah keamanan untuk keturunan Keraton Yogyakarta maupun warga pribumi. Agar ketika terjadi kesenjangan yang tinggi, tidak terjadi kerusuhan dengan pihak keturunan Tionghoa yang telah menguasai tanah.

"Kalau terjadi kesenjangan warga miskin, akan muncul kerusuhan. Aturan itu mencegah penguasaan tanah kepada warga keturunan" ulasnya.

Namun demikian, pihaknya berharap Pemprov DIY dan Keraton Yogyakarta mencari solusi terbaik agar tidak ada kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi, hingga terkait tanah sultan ground. Sebab, konflik agraria sering terjadi di DIY. Purwanta mengambil contoh konflik paling baru di Pantai Watu Kodok, Gunung Kidul, dan pembebasan lahan bandara di Kulon Progo.

Saat dihubungi terpisah, Kepala Badan Pertanahan DIY Tri Wibisono mengaku enggan berkomentar terkait tanah di Yogyakarta dan gugatan terkait tanah tersebut. "Untuk saat ini no comment dulu. Nanti takutnya kalau disampaikan sepotong-sepotong malah timbul presepsi buruk," kata Tri Wibisono.

Baca juga: Warga Luar Batang Sepakat Tidak Perlihatkan Dokumen Kepemilikan Tanah

Sebelumnya, Handoko, si penggugat, menyampaikan akan mengambil langkah banding yang akan diajukan 14 hari setelah putusan sidang kemarin.

"Saya akan mengajukan banding," tutur Handoko.

Gugatan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY diajukan oleh Handoko, warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY lantaran menjalankan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975.

"Saya menganggap pejabat yang menjalankan Surat Instruksi (Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975) itu melanggar hukum. Instruksi itu juga saya nilai mengandung diskriminasi," ujar Handoko.

Kompas TV Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku normalisasi sungai perlu dilanjutkan untuk mengatasi banjir yang melanda wilayah Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Ahok meminta warga bantaran kali untuk segera mengurus sertifikat kepemilikan tanah agar mendapat ganti rugi saat normalisasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com