Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Keris Itu Penggabungan Alam Atas dan Bawah..."

Kompas.com - 24/10/2017, 06:07 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.comKeris merupakan senjata tikam yang memiliki ciri khas yang unik. Bentuknya yang tidak simetris, bilahnya memiliki lekuk, dan memiliki guratan pada permukaan bilah menjadi ciri khas senjata itu. Ciri khas itu pula yang membedakan keris dengan senjata adat yang ada di Nusantara lainnya.
 
Bagi masyarakat di DI Yogyakarta, keris bukan lagi berfungsi sebagai senjata tikam melainkan benda budaya yang memiliki nilai filosofi yang berbeda bagi sang pemiliknya. Setiap pemiliknya pun memiliki tujuan yang berbeda untuk memiliki keris.
 
Setiap pemiliknya pun memiliki cerita yang berbeda untuk mendapatkan kerisnya tersebut. Ada yang membeli dari kolektor atau penjual dan ada pula yang langsung membeli atau memesannya dari sang Empu.
 
Seperti halnya Iwan Nugroho (32), pria asal Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, yang baru memiliki keris sebulan terakhir ini. Awalnya pria asal Kabupaten Gunungkidul ini mengaku tak mengetahui banyak tentang keris. Namun tiba-tiba ia memiliki keinginan untuk memiliki keris sendiri.

Baca juga : Kisah Sungkowo, Perajin Keris Generasi ke-17 Empu Kerajaan Majapahit

“Saya awam tentang keris, tapi saya dapat angan-angan (mimpi) kalau saya harus punya keris tapi yang betulan (buatan empu),” kata Iwan ketika berbincang dengan Kompas.com di kediaman Empu Sungkowo Harumbrojo, Dusun Gatang, Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, beberapa waktu lalu.
 
Lantas, Iwan pun langsung mencari informasi tentang keris di dunia maya. Berbagai informasi pun diperolehnya kala itu, namun dia memilih untuk mendapatkan keris melalui seorang empu. Dari rumahnya di Muntilan ia pun langsung mendatangi kediaman Empu Sungkowo meski harus menempuh waktu sekitar satu jam lebih.
 
“Waktu itu saya belum langsung ingin memiliki, tapi saya minta petunjuk dulu dari Empu Sungkowo. Saya pun mendapatkan arahan dari Empu,” kata Iwan.
 
Waktu itu, Iwan tak langsung ingin memiliki keris usai mengobrol dengan Empu Sungkowo. Dia kembali ke kediamannya untuk membulatkan keinginannya tersebut. Meski sempat ragu, keinginannya justru semakin kuat setelah mendapatkan mimpi yang tak wajar.

Baca juga : Rencong, Aceh Pungoe, dan Islam
 
“Dua hari setelah ke rumah empu (Sungkowo), saya dapat mimpi kalau saya dikerokin wanita. Setelah bangun, punggung saya lebih enakan. Padahal saya ada sakit di punggung saya ini,” kata Iwan.
 
Saat itu juga Iwan langsung berangkat menuju rumah Empu Sungkowo setelah tekadnya untuk memiliki keris semakin bulat. Dia pun memilih keris yang memiliki dapur (bentuk atau nama) blarak sineret. Meski enggan menyebut harga belinya, dia merasa cocok dengan keris itu.
 
“Sampai saat ini, keris ini masih saya rawat dan saya taruh di rumah. Saya tidak akan jual keris ini,” kata Iwan.
 
Meski cara memilikinya harus melalui angan-angan dan mimpi, Iwan mengaku keinginan untuk memiliki keris bukan lantaran ingin menjadikannya sebagai jimat. Menurut dia, keinginannya untuk memiliki keris itu murni untuk melestarikan budaya nenek moyangnya. Bukan tanpa sebab, sebagian keturunan dari kakeknya juga memiliki keris di rumahnya.
 
“Saya sebagai orang Jawa, saya harus bisa menghargai budaya leluhur. Makanya saya mencoba apresiasi budaya leluhur ini dengan memilikinya sendiri dengan membelinya sendiri,” kata Iwan.

Baca juga : Kujang Itu Simbol Kedaulatan Sebuah Negara...
 

Empu Sungkowo Harumbrojo mengecek keris setengah jadi di besalen miliknya di Dusun Gatak, Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Rabu (20/9/2017).KOMPAS.com/Muhammad Guci Empu Sungkowo Harumbrojo mengecek keris setengah jadi di besalen miliknya di Dusun Gatak, Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Rabu (20/9/2017).
Keinginannya untuk memiliki keris juga dipicu ketertarikannya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut dia, setiap keris itu memiliki nilai kebaikan yang berbeda. Baginya nilai kebaikan itu lah yang membuat setiap pemilik tidak sembarangan berperilaku dalam kehidupannya sehari-hari.
 
“Tapi itu kembali ke masing-masing pribadi pemiliknya. Kalau saya pribadi saya ingin memiliki keris ini karena ingin melestarikan budaya. Karena budaya itu nomor satu,” kata Iwan.
 
Iwan mengaku, sudah memakai keris yang baru dibelinya itu setiap menghadiri acara adat. Menurut dia, kepercayaan dirinya semakin bertambah dengan menyelipkan keris barunya pada pakaian ada Jawa yang dipakainya. Dia pun menyebut paman kandungnya sempat kagum dengan keris miliknya menyusul didapat dari pembuatnya langsung.
 
“Sebetulnya kalau mau beli di pasar atau pedagang (kolektor) juga banyak. Cuman saya punya kepuasan tersendiri kalau dapat dari empunya. Karena kita bisa tahu ciri khas dari kerisnya itu langsung,” ujar Iwan.
 
Lain halnya dengan Abdul Jawat Nur, Dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM). Pria ini memiliki 135 keris dari berbagai zaman di rumahnya. Baginya, keris merupakan hasil kebudayaan bangsa indonesia yang memiliki unsur seni, spiritual, dan keseimbangan.
 
“Keris itu dibuat dari tiga bahan besi, baja, dan pamor. Itu penggabungan alam atas dan bawah serta kesungguhan sang empu melahirkan benda yang disebut keris,” kata Jawat ketika berbincang dengan Kompas.com di kampus FIB UGM belum lama ini.
 
Ratusan keris tersebut didapat Jawat dengan membeli. Namun dia tak membelinya langsung dari seorang empu. Jawat menceritakan, dia ingin mengumpulkan keris-keris yang dijual secara bebas di pasaran. Menurut dia, banyak keris peninggalan berbagai macam kerajaan di Indonesia mulai dijual ke luar negeri.
 
“Saya merasa prihatin karena sering ke tempat temen bahwa orang Belanda setiap 3 bulan bawa keris kita lawas dijual ke negeri Belanda dan di sana nilai jual tinggi. Misalnya kalau di sini dijual Rp 300.000 di sana bisa Rp 3 juta. Kalau dibiarkan terus menerus ini bisa habis,” kata Jawat.
 
Tak hanya menjaga kelestarian keris asli Indonesia, Jawat mengatakan, baginya memiliki keris itu suatu keharusan baginya. Sebab menurutnya jika memiliki keris itu merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap sang pembuatnya.
 
“Keris itu benda budaya yang memiliki makna filosofi tertentu. Makanya saya menghormati keris-keris ini. Ini bentuk penghormatan bukan untuk disembah,” tuturnya.

Tak dipungkiri Jawat, masih ada masyarakat yang beranggapan bisa mendapatkan sesuatu dari keris. Hal itu terjadi lantaran keris dianggap tak sekedar hiasan belaka, melainkan benda yang dianggap memiliki kesaktian. Menurut dia, hal tersebut merupakan keyakinan yang salah kaprah.
 
“Kalau minta itu tetap ke Tuhan. Memang benar keris itu memiliki isoteri, tapi bagi saya itu sugesti saja,” kata Jawat.

Baca juga: Badik, antara Fakta dan Mitos
 

Presiden Joko Widodo saat meninjau Museum Keris Nusantara di Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/8/2017).Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden Presiden Joko Widodo saat meninjau Museum Keris Nusantara di Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/8/2017).
Kalaupun ada keris yang bisa berdiri, Jawat mengatakan, hal tersebut bukan karena karena memiliki kesaktian. Dia menyebut, terdapat penjelasan rasional di balik berdirinya keris itu. Hal itu sekaligus menampik jika keris bisa membuat kaya seseorang jika memiliki keris tertentu.
 
“Keris bisa berdiri karena keseimbangan. Keris yang bisa berdiri itu dibuat dengan perhitungan yang matang,” tutur Jawat.
 
Jawat berharap, kecintaan masyarakat Indonesia khususnya suku Jawa terhadap keris terus meningkat. Jangan sampai pula, kata dia, masyarakat mencintai keris bukan karena nilai budayanya, melainkan adanya anggapan keris bisa mengabulkan permintaan. “Generasi muda saat ini harus memahami karya nenek moyang mereka. Filosofinya apa kemudian yang bagus seperti apa,” kata dia.
 
Dia menambahkan, jangan sampai budaya bangsa Indonesia itu justru dimiliki warga negara asing. Apalagi keris Indonesia telah terdaftar di Unesco sebagai warisan budaya dunia nonbendawi manusia sejak 2005.

“Kalau menurut saya harus ada campur tangan pemerintah karena keris merupakan salah satu budaya nasional dari barat sampai timur itu punya jangan sampai punah,” kata dia.

Kompas TV Mahasiswa Asing Pelajari Cara Buat Keris di Solo
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com