Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terlindas Truk, 3 Tahun Agus Hidup dengan Pin Besi di Perut

Kompas.com - 24/03/2016, 09:09 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com — Lelaki muda itu telentang di atas dipan kecil. Di sekitarnya banyak tumpukan kayu bekas pembuatan mebel. Kepalanya ditopang beberapa bantal yang kumal.

Di bagian kiri tampak televisi tua serta kipas angin penuh debu yang berputar pelan. Ada juga tumpukan sarung di kotak kayu serta beberapa botol plastik yang diletakkan sejauh jangkauan tangan.

"Saya sudah tiga tahun seperti ini. Hanya tangan saya yang bergerak," jelas pemuda yang bernama Agus Syaifulloh kepada Kompas.com, Rabu (23/3/2016).

Ia kemudian membuka sarung yang menutupi perut dan bagian bawah tubuhnya, kemudian menunjukkan empat besi yang menancap di perutnya.

Ia bercerita, besi tersebut dipasang setelah ia mengalami kecelakaan karena terlindas truk pada tahun 2013 lalu di Surabaya.

"Seharusnya delapan bulan terus dilepas, tapi karena kendala biaya ya dibiarin saja sampai sekarang sudah ada tiga tahun," jelasnya dengan suara pelan.

Dia juga menunjukkan bekas luka yang masih terbuka di perut bagian bawah dan perut sebelah kanan. Ia mengaku masih merasa nyeri dan sering mengeluarkan cairan seperti nanah dan juga keluar belatung kecil di bagian luka.

Ia mengatakan, luka di bagian punggung tersebut karena terlalu lama berbaring. Luka itu juga bernanah dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Agar nyaman, ia mengganjal punggungnya dengan beberapa lapis sarung yang dilipat.

Kecelakaan yang dialami lajang kelahiran 1989 itu terjadi saat dia bekerja menjadi kernet truk pada April 2013. Saat membawa barang ke Surabaya, ia kelelahan lalu tertidur di bawah truk yang sedang berhenti di area parkir pabrik. Tidak sengaja Agus terlindas truk saat sopir akan masuk pabrik.

Selama seminggu, Agus dioperasi hingga enam kali di Rumah Sakit Karangmenjangan Surabaya dan menghabiskan uang sebesar Rp 100 juta. Ia kemudian dibawa kembali ke Surabaya oleh keluarganya dan rumah warisan satu-satunya dari orang tuanya dijual untuk biaya kesehatan Agus.

"Saya anak tunggal. Ibu saya meninggal waktu kecil, kalau ayah meninggal tahun 2010," jelas anak pasangan Wagiyo dan Amira itu.

Lelaki yang hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas IV SD tersebut mengaku sejak kecil lebih banyak hidup di jalanan dan mengerjakan apa saja untuk bertahan hidup. Ia sempat menjadi pencari uang logam di Pelabuhan Ketapang sampai mengantarkan galon minuman isi ulang.

"Terus, saya diajak jadi kernet dan kecelakaan, dan jadi seperti ini," ungkapnya.

Untuk kebutuhan sehari-hari, dia mengandalkan Kamsuri (86), pamannya yang bekerja serabutan sebagai tukang kayu. Kamsuri juga yang menyediakan makanan untuk keponakannya.

Saat ini ia tinggal di Dusun Maron, Kecamatan Gentang, Kabupaten Banyuwangi, bersebelahan dengan rumah pamannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com