Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A Bobby Pr

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ini menekuni penulisan buku biografi. Sejak di bangku kuliah ia sudah menulis buku dan membuat majalah. Beberapa karyanya yang sudah dibukukan antara lain Ny. Lie Tjian Tjoen: Mendahului Sang Waktu (2014); Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM: Pemimpin Sederhana (2014); Pater Wijbrans OFM: Memberi Teladan Tanpa Kata, (2010); Mgr. Hermelink: Setelah 27 Tahun Dimakamkan Jenazahnya Masih ‘Utuh’ (2010); Jurnalistik: Bakat? Buang ke Laut (2009).

Samsul dan Ketekunan Tukang Service Payung

Kompas.com - 11/03/2016, 15:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho


Musim hujan bagi sebagian orang adalah masa-masa yang menjengkelkan. Hujan yang kerap datang dianggap mengganggu aktivitas keseharian. Lain halnya dengan Samsul (41). Bagi tukang servis payung ini akhir musim kemarau adalah saatnya dia bersiap-siap menyambut rejeki.

Pada saat musim hujan, Samsul berangkat meninggalkan kontrakannya di Pondok Bahar, Tangerang sejak pagi hari. Dia berkeliling sembari memanggul sekitar 10 payung yang diikat jadi satu. Tas berisi berbagai alat dan perlengkapan tersandang di pundak.

Dengan berjalan kaki dia menawarkan jasa dari rumah ke rumah sembari berteriak, “servis payung, servis payung.”

Sebelum menekuni pekerjaan ini, Samsul adalah petani di tempat asalnya, Banjarnegara, Jawa Tengah. Mengingat hasil sawah tidak memadai Samsul mengadu nasib ke Jakarta sebagai kuli bangunan.

Beberapa bulan kemudian ada temannya yang mengajak bekerja di pabrik payung. “Saya datang ke Jakarta pas Nike Ardila meninggal. Saya dapat kabar pas di bus menuju Jakarta”. Nike Ardila adalah penyanyi pop yang meninggal pada 19 Maret 1995.

Selama seminggu Samsul mendapat pelatihan di pabrik payung yang terletak di Tegal Alur, Tangerang. Setelah menguasai cara membuat payung, dia diperbolehkan bekerja dan tinggal di dalam pabrik. Pekerjaan itu ditekuni selama tiga tahun.

Saat pemilik pabrik payung itu pindah ke Bogor, Samsul tidak ikut. Dia memilih untuk bekerja sebagai tukang servis payung yang keluar masuk kampung dan perumahan di Tangerang.

Alasannya, lebih bebas dan hasilnya lebih besar. Tempat-tempat yang didatangani seperti daerah Karang Tengah, Gondrong, Petir, Kosambi, Dadap, dll. Wilayah-wilayah yang luas biasanya dia jelajahi sampai dua hari.

Awalnya Samsul berkeliling dengan menggunakan sepeda. Namun, setelah beberapa kali dikomplain pelanggan karena melintas terlalu cepat dan tidak mendengar panggilan maka dia memutuskan untuk jalan kaki.

“Berangkat jalan kaki mulai jam tujuh, pulang sekitar Magrib, kadang lebih. Tergantung banyaknya pekerjaan. Pulangnya naik angkutan umum. Kalau dihitung-hitung saya sudah jalan sampai Singapura. Mungkin malah lebih.”

Dari ketekunannya selama 11 tahun ini, Samsul mampu menghidupi keluarganya yang tinggal di Banjarnegara. Setiap 2-3 bulan sekali dia berkumpul bersama keluarga untuk menyerahkan hasil kerjanya.

Di kala musim kemarau, pekerjaan perbaikan payung dapat dikatakan kosong. Untuk itu Samsul beralih kembali sebagai kuli bangunan.

Kualitas payung
Dari pengalaman Samsul, kualitas payung yang dijual sekarang ini sudah tidak sebagus era tahun 80-90-an. Waktu itu payung dibuat dengan kerangka besi yang kokoh. Lapisan atapnya pun terbuat dari plastik atau kain tebal. Jari-jari dijahit dengan kawat yang kuat.

Belakangan ini tampilan payung memang bagus dan menarik dengan warna-warna cerah. Namun, mudah rusak. Jari-jari besi juga hanya dijalin dengan benang, bukan dengan kawat. Kalau tertiup angin kencang langsung melintir.

Dia ingat pesan pimpinannya sewaktu masih bekerja sebagai karyawan pabrik payung. Bosnya berpesan jangan terlalu kuat untuk membuat payung. Alasannya, nanti orang tidak lagi beli payung dan para pekerja tidak ada pekerjaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com