Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gurihnya Ayam Penyet Tepi Pantai Lhokseumawe

Kompas.com - 16/11/2015, 06:58 WIB
Kontributor Lhokseumawe, Masriadi

Penulis

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com - Terik matahari membakar tepi pantai Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin (16/11/2015). Matahari mulai merangkak ke atas kepala. Jam menunjukkan angka 12.

Satu-satu pengunjung mulai ramai mendatangi kawasan Kesatuan Pengamanan Pelabuhan (KP3) Lhokseumawe itu. Ya, dulu di era 70-an kawasan itu merupakan pelabuhan terbesar di Lhokseumawe.

Belakangan tidak difungsikan lagi dan ketika konflik Aceh terjadi 10 tahun lalu, kawasan itu merupakan pusat pendaratan pasukan dengan menggunakan helikopter.

Itu cerita lama. Kini, kawasan itu berubah fungsi. Sejak dua tahun terakhir, Emotional Question (EQ) Kafe menempati lahan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) itu.

Sebelumnya, EQ Kafe menyewa lokasi di sebuah rumah dan toko (Ruko) dua lantai di Jalan Merdeka Timur, Lhokseumawe. Persis di samping Masjid Raya Baiturrahman Lhokseumawe.

"Sekarang ini kita sewa juga. Masa sewa lima tahun untuk tahap awal ke Pelindo," sebut T Maulizar, pemilik EQ Kafe kepada Kompas.com.

Pria berbadan besar ini serius menekuni bisnis kuliner. Sejak 12 tahun lalu dia merintis usaha itu.

Awalnya, hanya dia dan istrinya Mira Afriani yang membuka usaha. Mereka bertindak sebagai pelayan, koki, dan tukang cuci piring. Seiring berjalannya waktu, pengunjung semakin ramai.

"Kita tambah delapan tenaga kerja. Sekarang tenaga kerja sudah 23 orang," ujarnya ramah.

Kafe ini menyasar segmen segala usia. Berbeda dengan dua tahun lalu, Maulizar menyasar remaja sebagai pasar utama.

Untuk makanan, dia setia mempertahankan ayam penyet dengan bumbu yang khas. Bumbu itu berupa paduan cabai rawit dan merah yang giling agak kasar plus dibalur dengan kecap manis. Rasanya sungguh nikmat.

Sementara ayam penyet, dibalur dengan bumbu racikan sang istri. Maulizar enggan menyebutkan bumbu yang digunakan. Namun, rasanya sangat gurih dan nikmat.

Selain itu, dia setia menyajikan nasi dalam bentuk dibungkus dengan daun pisang. Nasi berbentuk piramid itu merupakan ciri khas masyarakat Aceh. Dalam bahasa Aceh disebut bu kulah (nasi bungkus). Dalam tradisi Aceh, bu kulah disajikan ketika khenduri maulid.

"Bungkusan nasi itu salah satu yang membedakan kafe ini dengan yang lain. Kami ingin identik dengan Aceh. Jika ada pengunjung dari luar Aceh, dia akan mengenang kafe ini dari bungkusan nasinya," ujar Maulizar.

 

Menyapa pengunjung

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com